Penulis : Richard Fernandez Labiro
Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka
Dalam merespon penambangan emas yang berada di kawasan taman nasional mesti melihatnya secara dialektis historis tentang dampak dari keberadaan taman nasional itu sendiri sejak lama.
Hal yang mesti diketahui oleh Ketum Badko HMI Sulteng, Alief Yeraldhi adalah bagaimana keberadaan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) menciptakan enclosure bagi masyarakat dataran tinggi di Sulawesi Tengah.
Sejarah TNLL telah dibahas pada World Parks Conggress di Bali tahun 1982. Kemudian, ditetapkan pada tahun 1993.
Sejak munculnya Undang-Undang Kehutanan tahun 1967, tapal batas taman nasional termaksud TNLL, telah mematok lahan-lahan peladang di dataran tinggi Sulteng sebagai bentuk perlindungan terhadap hutan dan satwa liar.
Tapal batas yang mematok lahan dan kebun petani, sekaligus tanah adat telah melahirkan perampasan tanah secara terstruktur atau disebut enclosure.
Dalam buku yang ditulis Tania Li, peneliti antropolog yang melalang buana dalam meriset praktek Pembangunan ‘salah atur’ di Sulteng menuliskan, praktik pembangunan berbasis konservasi memaksa perubahan perilaku masyarakat dataran tinggi atau yang tinggal di sekitaran kawasan TNLL dengan berbagai macam program pemberdayaan dan riset yang justru menciptakan kesengsaraan.
Stereotip terhadap masyarakat adat dan peladang seperti ‘tertinggal’ dan ‘termiskin’ selalu menjadi kata kunci bagi program perubahan perilku tersebut. Itulah yang disebut Tania Li sebagai The Will to Improve.
Enclosure atau disebut Tania Li sebagai pematokan, telah memisahkan peladang, petani hingga masyarakat adat dari tanah mereka.
Hal ini yang menciptakan kemiskinan laten, lalu program pemerintah menstimulus kemiskinan ini dengan batuan tunai melalui kerja sama antarlembaga. Seperti yang dihadiri oleh Ketum Badko HMI Sulteng di Kantor Balai Besar TNLL beberapa hari yang lalu.
Di mana dirinya menyoroti kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang akan kucurkan dana Rp 9.759.000.000 untuk masyarakat lingkar TNLL.
Dalam hal ini, Ketum Alief menawarkan beberapa kebijakan yang bisa dilakukan, baik kebijakan penegakan hukum maupun pemberdayaan masyarakat.
Bagi saya, tawaran dari Bung Alief sama saja narasinya dengan praktik yang me –enclosure masyarakat Taman Nasional Lore Lindu beberapa tahun silam.
Sabab, setiap poin yang ditawarkannya tidak menyentuh akar masalah yang ada yakni tapal batas. Atau lebih jelasnya, tawaran itu adalah ‘niat untuk memperbaiki yang berakhir kesengsaraan bagi masyarakat’.
Sejak lama, narasi pembangunan berbasis konservasi telah lama diwacanakan oleh agen-agen neoliberalisasi konservatif.
Seperti contoh kasus, di Desa Katu, pihak balai besar TNLL ingin memindahkan secara paksa orang Katu dari Taman Nasional Lore Lindu karena dianggap mengancam ekosistem taman nasional.
Orang Katu dianggap bagi mereka tertinggal dan perlu diberdayakan. Makanya, Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan internasional ikut mendanai pemindahan orang Katu di Lembah Behoa, Kabupaten Poso ke tempat yang baru. Bagi orang Katu tidak ada kata pindah selain tetap tinggal di tanah mereka. Hingga kini, orang Katu masih tinggal dan bermukim di sana.