Penulis : Richard Fernandez Labiro
Dosen Ilmu Administrasi Publik FISIP Untad
Akhir-akhir ini, ramai dibicarakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dikhawatirkan tertunda karena anggaran diblokir.
Hal itu mengundang perhatian banyak pihakm bahkan di talkshow TV Nasional para ahli saling lempar argument persoalan IKN belakangan ini.
Bagi pihak pro dan kontra IKN, isu anggaran dan tidak jelasnya investor menimbulkan pesimisme bagi para pihak, walaupun masih ada optimisme bagi fanatik Jokowi cum Prabowo-Gibran.
Salah satu yang menarik perhatian saya ialah komentar pihak dengan latar belakang akademisi di talkshow TV paling beken di Indonesia tentang alasan dasar dan persoalan pemindahan ibu kota.
Kata kunci dari obrolan tersebut ialah pemerataan pembangunan, sebuah konsep antitesa dari Jawa Sentris.
Singkatnya untuk meninggalkan pembangunan “fisik” yang selama ini terpusat di Jakarta (Jawa Sentris atau Jakarta sentris) diperlukan pembangunan Indonesia Sentris.
Pernyataan itu secara verbatim mirip perspektif Pak Jokowi sewaktu menjabat jadi Presiden beberapa waktu yang lalu.
Saat itu, alasan dasar pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur ialah Pemerataan Pembangunan yang Indonesia Sentris.
Bagi saya, alasan Jawa Sentris maupun Indonesia Sentris sangat miskin analisis dan perlu dikoreksi kesalahan pikir dari para cendekiawan “pengasuh arguman penguasa”.
Alasan sentris-sentris itu, buah pikiran dari hegemoni kelas kapital. Negara maupun alat politiknya berusaha mempertahankan kekuasaan dengan dalil pembangunan tidak merata.
Menurut saya, menggunakan narasi “Jawa sentris” atau “Jakarta sentris” seolah-olah masalah utama dalam pembangunan nasional adalah ketimpangan antar wilayah.
Padahal, dalam analisis kelas sosial, ketimpangan bukan sekadar masalah geografis, tetapi terutama masalah distribusi kekayaan yang dikendalikan kapitalis dan negara.
Dengan menekankan alasan “Jawa sentris,” negara dan para cendekiawan membelokkan perhatian publik dari eksploitasi kapitalistik ke isu identitas wilayah.
Ini adalah taktik klasik yang disebut sebagai “false consciousness”—di mana rakyat didorong untuk melihat masalah dalam kerangka identitas geografis, bukan dalam kerangka persoalan kelas sosial.
Pemindahan ibu kota tidak mengubah struktur ekonomi-politik yang eksploitatif. Sebaliknya, ibu kota baru menjadi pusat administrasi baru bagi kelas penguasa, sementara hubungan timpang secara sosial tetap dikendalikan kapital besar yang masih berasal dari oligarki lama.
Salah satu contoh yang paling nyata didepan mata, bagaimana batu, kerikil, dan pasir di wilayah Palu-Donggala ditambang demi pembangunan IKN, rakyat dipaksa gembira menyambut itu walaupun banjir dan longsor dirasakan penduduk Loli di Donggala dan Buluri serta Watusampu di Kota Palu serta ISPA yang naik setiap tahunnya.
Kembali ke persoalan IKN baru-baru ini. Pembangunan IKN merupakan bagian dari ekspansi kapital, terutama sektor properti, infrastruktur, dan industri pendukungnya (semen, baja, tenaga kerja murah). Jika anggaran diblokir, berarti ada hambatan dalam proses tersebut.