Oleh : Alfandy Ahmad Eyato
Pemuda Tojo Una-Una
Pernyataan Gubernur Sulteng Anwar Hafid, yang ingin menjadikan Tojo Una-Una (Touna) sebagai “Kabupaten Sawit”, patut dipertanyakan dengan serius.
Alih-alih terdengar sebagai gagasan pembangunan, pernyataan ini bagi saya—terdengar sebagai ancaman terselubung terhadap ruang hidup kami.
Lebih mengkhawatirkan lagi ketika ide ini dikemas dengan istilah yang menjanjikan: emas hijau, kemakmuran keluarga, hingga retorika partisipasi perempuan.
Namun di balik bahasa manis itu, saya melihat satu hal yang nyata: pengabaian terhadap sejarah, ekologis lokal, dan tubuh-tubuh perempuan yang selama ini menopang kehidupan dari halaman rumahnya.
Saya adalah anak daerah Tojo Una-Una. Saya lahir dan besar di sana. Dan saya tidak bisa diam melihat kampung halaman saya dijadikan proyek eksperimen atas nama kemakmuran.
Gagasan menanam sawit di pekarangan rumah memang terdengar sederhana. Tetapi dalam sejarah pengelolaan tanah dan ruang domestik, perempuanlah yang paling awal dan paling sering kehilangan.
Ketika pekarangan yang dulunya ditanami sayur, rempah, obat-obatan tradisional, dan menjadi pusat relasi antarwarga, digantikan oleh komoditas ekspor seperti sawit, maka yang digerus bukan hanya tanah: yang hilang adalah kedaulatan perempuan atas pangan, pengetahuan lokal, dan ruang aman dalam kehidupannya.
Pembangunan yang tidak berangkat dari realitas perempuan akan selalu melahirkan kekerasan yang diam-diam tapi dalam: beban kerja yang bertambah, ruang yang menyempit, akses ekonomi yang timpang, hingga konflik sosial yang merayap masuk ke dapur dan ranjang rumah tangga.
Apakah gubernur memahami ini ketika ia menyebut sawit bisa ditanam di halaman dan pasti laku? Ataukah ini hanya strategi populis yang meremehkan kompleksitas relasi perempuan dan ruang hidup?
Saya ingin bertanya lebih jauh: apakah sudah ada kajian dampak ekologis, sosial, dan gender sebelum wacana “Kabupaten Sawit” ini diumumkan? Apakah suara perempuan di desa-desa di Tojo Una-Una pernah diajak bicara? Atau, seperti biasa, perempuan hanya akan menjadi obyek pembangunan, disebut-sebut namanya demi membungkus narasi kemiskinan dan pemberdayaan, tetapi tidak pernah benar-benar diajak menentukan arah hidupnya?
Mengubah Tojo Una-Una menjadi Kabupaten Sawit bukan hanya pilihan yang gegabah, tapi juga mencerminkan kemalasan berpikir: seolah-olah tidak ada model pembangunan lain yang bisa digagas selain menyerahkan tanah rakyat ke tangan industri.
Ini bukan pembangunan, ini penyeragaman. Dan dalam sejarah penyeragaman, yang paling dulu terpinggirkan adalah yang paling lemah secara politik: petani kecil, perempuan, dan anak-anak.
Kita tahu sejarah sawit di Indonesia bukanlah sejarah yang manis. Sejak program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di era Orde Baru hingga ekspansi besar-besaran melalui program transmigrasi, sawit telah mengubah wajah ribuan desa menjadi lahan monokultur. Di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi Barat, bahkan di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah.