Penulis : Rukly Chayadi
Advokat Chayadi Kantor Hukum Tepi Barat and Associates
Terkait pernyataan Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho yang menyatakan bahwa kasus persetubuhan anak di bawah umur terhadap RO (15) adalah persetubuhan anak, bukan perkosaan sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan.
Perundang-undangan di Indonesia dengan tegas melarang setiap bentuk persetubuhan atau hubungan seksual dengan anak di bawah umur, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan yang sah dan melindungi mereka dari eksploitasi seksual.
Mengategorikan tindakan tersebut sebagai ‘persetubuhan anak’ daripada “perkosaan” terlihat sebagai usaha untuk meminimalkan seriusnya pelanggaran yang terjadi. Kedua istilah ini seharusnya tidak bisa dipertukarkan atau digunakan secara sembarangan.
Tindakan yang melibatkan anak di bawah umur dalam aktivitas seksual adalah kejahatan serius dan harus diperlakukan sebagai perkosaan, mengingat anak di bawah umur tidak dapat memberikan persetujuan yang sah dalam konteks tersebut.
Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan sensitivitas terhadap perlindungan anak dan seriusnya konsekuensi yang dihadapi korban dalam kasus seperti ini. Perlindungan dan kesejahteraan anak harus menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
Dalam sudut pandang perlindungan anak, pernyataan tersebut dianggap kurang sensitif terhadap kepentingan dan kesejahteraan anak di bawah umur.
Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam setiap kasus yang melibatkan kekerasan atau eksploitasi seksual.
Penting untuk mempertimbangkan dampak psikologis dan emosional yang serius yang bisa dialami oleh korban, terlepas dari terminologi hukum yang digunakan.
Persoalan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai kesadaran sosial dan pendidikan yang lebih luas tentang isu persetubuhan anak di bawah umur.
Pernyataan seperti itu dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap seriusnya tindakan tersebut dan memberikan kesan bahwa kasus tersebut tidaklah serius atau penting.
Oleh karena itu, pernyataan semacam itu bisa dianggap sebagai kendala dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pencegahan terhadap kekerasan seksual terhadap anak.
UU Perlindungan Anak merupakan dasar hukum yang penting untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk pemerkosaan dan persetubuhan anak di bawah umur.
Dalam kasus ini, penting bagi pihak berwenang untuk menjamin bahwa tindakan hukum yang tepat diambil untuk melindungi korban dan menghukum pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pada kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya edukasi dan pencegahan untuk mencegah kasus persetubuhan anak di bawah umur dan prostitusi anak.
Pendidikan mengenai hak-hak anak, kesadaran akan bahaya yang dihadapi anak-anak, dan peran masyarakat dalam melindungi anak-anak adalah hal yang sangat penting.
Sehingga kasus ini memerlukan penanganan yang serius dan akurat dari pihak berwenang. Pernyataan yang jelas dan transparan, perlindungan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, serta upaya edukasi dan pencegahan menjadi hal yang sangat penting dalam menangani kasus semacam ini.