Home / Opini

Selasa, 28 Juni 2022 - 16:44 WIB

Legenda Ahmad Tohari Sastrawan Dan Budayawan yang Dituduh Komunis

LEGENDA AHMAD TOHARI SASTRAWAN DAN BUDAYAWAN YANG DITUDUH KOMUNIS

LEGENDA AHMAD TOHARI SASTRAWAN DAN BUDAYAWAN YANG DITUDUH KOMUNIS

Penulis

FAJARIA CITRADARA

NIM: 200501072062

Ahmad Tohari adalah anak kelima dari dua belas bersaudara yang lahir di Banyumas, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Sosok Ahmad Tohari yang akrab disapa Tohari sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Di mana karya – karya Tohari ini sudah banyak beredar, bahkan telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jepang, China, Belanda, dan Jerman. Dalam kesempatan wawancara melalui video call, ia mengaku tertarik menjadi penulis karena kepuasan batin dan itu salah satu passionnya ketika masih di usia remaja. Kala itu, Tohari juga gemar membaca buku.

Kegemarannya tersebut dimulai sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Banyumas. Kegemarannya termotivasi dan terpengaruh untuk membuat cerita pendek (cerpen). Cerpen yang di pertama kali ia buat dan diterbitkan pada tahun 1971. Yang mendasari Ahmad Tohari dalam menuliskan sebuah novel adalah nilai- nilai kemanusiaan yang tidak terlaksana seperti kemiskinan, penindasan, dan lain – lain. Ahmad Tohari pun tertarik menjadi penulis dikarenakan passion yang ia inginkan sejak masa remaja, sekalipun tidak dapat menghasilkan banyak uang, menurut Ahmad Tohari ia dapat membuka wawasannya dengan menjadi penulis.

Baca juga  Dari Pekarangan ke Perlawanan: Menolak 'Kabupaten Sawit' di Tojo Una-Una

Ahmad Tohari telah banyak malang – melintang di dunia jurnalistik,

Ia pernah menjadi redaktur (editor) harian Merdeka, majalah Keluarga, dan juga majalah Amanah. Ia mulai menulis novel pertamanya yaitu “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menjadi awal terbitnya trilogi pertamanya pada 1980. kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 1982. Karya trilogi ini, Tohari sempat dituding sebagai komunis karena novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Di mana novel tersebut menceritakan tentang kisah nyata yang ia rasakan dan lihat di depan mata.

Ahmad Tohari telah banyak malang – melintang di dunia jurnalistik,

Ia pernah menjadi redaktur (editor) harian Merdeka, majalah Keluarga, dan juga majalah Amanah. Ia mulai menulis novel pertamanya yaitu “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menjadi awal terbitnya trilogi pertamanya pada 1980. kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 1982. Karya trilogi ini, Tohari sempat dituding sebagai komunis karena novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Di mana novel tersebut menceritakan tentang kisah nyata yang ia rasakan dan lihat di depan mata.

Baca juga  Ketika Pelindung Malah Jadi Predator: Perlunya Tindakan Tegas Terhadap Oknum Polisi

Tohari sempat diinterogasi selama beberapa hari, sampai pada akhirnya ia memberikan penjamin bahwa ia bukanlah komunis seperti yang ditudingkan. Penjamin yang dimaksud adalah Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Melalui jaminan dari Gus Dur, akhirnya Tohari dibebaskan.

Selanjutnya, ia menulis novel kedua yang diterbitkan sebagai novel lanjutan dari Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu ‘Lintang Kemukus Dinihari’ 1985. Kemudian Menyusul novel selanjutnya dengan berjudul ‘Jantera Bianglala’ 1986. Dalam penyusunan novel ini, Tohari menganggap rasa kemanusiaan harus diutamakan, karena hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Ahmad Tohari pembuatan novel tergantung dari berat atau ringannya sebuah materi yang di buat olehnya. Contoh ketika ia menuliskan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang ia tulis pun membutuhkan waktu 14 tahun untuk di rampungkan. Di tahun 1980, Tohari pernah mendapat uang sebesar Rp 1 juta yang di berikan oleh Fuad Hasan dan Daud Yusuf. Tohari merasa bahwa dengan karya – karyanya ia diakui oleh masyarakat akan eksistensi dan keberadaanya sebagai cerpenis.

Share :

Baca Juga

Ketua Umum Badko HMI Sulteng, Alief Veraldhi/Instagram @aliefvrldhi

Opini

Menag Larang Penggunaan Pengeras Suara saat Ramadan, Badko HMI Sulteng: Sesat dan Menyesatkan
Advokat Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Rukly Chayadi/Ist

Opini

Ketika Pelindung Malah Jadi Predator: Perlunya Tindakan Tegas Terhadap Oknum Polisi
Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro/Ist

Opini

Merespons Situasi Terkini Ibu Kota Nusantara dari Perspektif Kelas Sosial
Alfandy Ahmad Eyato/Ist

Opini

Dari Pekarangan ke Perlawanan: Menolak ‘Kabupaten Sawit’ di Tojo Una-Una
Advokat Chayadi Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Ruklu Chayadi/Ist

Opini

Helm Hilang di Parkiran RS Woodward: Menggali Tanggung Jawab yang Tak Bisa Dielak
Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro/Ist

Opini

Yayasan Tanah Merdeka Respons Kunjungan Badko HMI Sulteng ke Balai Besar TNLL
Advokat Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Rivkiyadi/Ist

Opini

Sengketa Mahasiswa Fakultas Teknik vs Kehutanan: Kegagalan Serius dalam Keamanan dan Kepercayaan di Untad
Advokat Chayadi Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Ruklu Chayadi/Ist

Opini

Kontroversi Pernyataan Kapolda Sulteng: Perlukah Kategori ‘Persetubuhan’ Menggantikan ‘Perkosaan’ dalam Kasus RO?