Penulis
FAJARIA CITRADARA
NIM: 200501072062
Ahmad Tohari adalah anak kelima dari dua belas bersaudara yang lahir di Banyumas, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Sosok Ahmad Tohari yang akrab disapa Tohari sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Di mana karya – karya Tohari ini sudah banyak beredar, bahkan telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jepang, China, Belanda, dan Jerman. Dalam kesempatan wawancara melalui video call, ia mengaku tertarik menjadi penulis karena kepuasan batin dan itu salah satu passionnya ketika masih di usia remaja. Kala itu, Tohari juga gemar membaca buku.
Kegemarannya tersebut dimulai sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Banyumas. Kegemarannya termotivasi dan terpengaruh untuk membuat cerita pendek (cerpen). Cerpen yang di pertama kali ia buat dan diterbitkan pada tahun 1971. Yang mendasari Ahmad Tohari dalam menuliskan sebuah novel adalah nilai- nilai kemanusiaan yang tidak terlaksana seperti kemiskinan, penindasan, dan lain – lain. Ahmad Tohari pun tertarik menjadi penulis dikarenakan passion yang ia inginkan sejak masa remaja, sekalipun tidak dapat menghasilkan banyak uang, menurut Ahmad Tohari ia dapat membuka wawasannya dengan menjadi penulis.
Ahmad Tohari telah banyak malang – melintang di dunia jurnalistik,
Ia pernah menjadi redaktur (editor) harian Merdeka, majalah Keluarga, dan juga majalah Amanah. Ia mulai menulis novel pertamanya yaitu “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menjadi awal terbitnya trilogi pertamanya pada 1980. kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 1982. Karya trilogi ini, Tohari sempat dituding sebagai komunis karena novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Di mana novel tersebut menceritakan tentang kisah nyata yang ia rasakan dan lihat di depan mata.
Ahmad Tohari telah banyak malang – melintang di dunia jurnalistik,
Ia pernah menjadi redaktur (editor) harian Merdeka, majalah Keluarga, dan juga majalah Amanah. Ia mulai menulis novel pertamanya yaitu “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menjadi awal terbitnya trilogi pertamanya pada 1980. kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 1982. Karya trilogi ini, Tohari sempat dituding sebagai komunis karena novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Di mana novel tersebut menceritakan tentang kisah nyata yang ia rasakan dan lihat di depan mata.
Tohari sempat diinterogasi selama beberapa hari, sampai pada akhirnya ia memberikan penjamin bahwa ia bukanlah komunis seperti yang ditudingkan. Penjamin yang dimaksud adalah Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Melalui jaminan dari Gus Dur, akhirnya Tohari dibebaskan.
Selanjutnya, ia menulis novel kedua yang diterbitkan sebagai novel lanjutan dari Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu ‘Lintang Kemukus Dinihari’ 1985. Kemudian Menyusul novel selanjutnya dengan berjudul ‘Jantera Bianglala’ 1986. Dalam penyusunan novel ini, Tohari menganggap rasa kemanusiaan harus diutamakan, karena hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Ahmad Tohari pembuatan novel tergantung dari berat atau ringannya sebuah materi yang di buat olehnya. Contoh ketika ia menuliskan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang ia tulis pun membutuhkan waktu 14 tahun untuk di rampungkan. Di tahun 1980, Tohari pernah mendapat uang sebesar Rp 1 juta yang di berikan oleh Fuad Hasan dan Daud Yusuf. Tohari merasa bahwa dengan karya – karyanya ia diakui oleh masyarakat akan eksistensi dan keberadaanya sebagai cerpenis.