HARIANSULTENG.COM, PARIMO — Masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu, Parigi Moutong, bergantung hidup kepada alam. Air sungai, misalnya, mereka manfaatkan untuk mencuci, mandi, dan memenuhi keperluan lainnya.
Namun, itu dulu. Bagi Yogi, semua berubah sejak ada aktivitas penambangan emas. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara serampangan alias ilegal, tanpa izin resmi, dan pengawasan dari negara.
Penambangan tanpa izin (PETI) di Bolano Lambunu kian marak sejak 2015. Walhasil alam yang dulu menjadi rumah bagi warga untuk bertahan hidup terancam hilang.
“Dampak yang paling terasa itu tahun 2015, terutama di sektor pertanian. Sawah-sawah milik warga mengalami gagal panen secara besar-besaran. Sungai juga menjadi keruh. Padahal dulu air sungai yang jernih banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Yogi, Rabu (25/6/2025).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), luas sawah di Bolano Lambunu mencapai 2.235 hektare pada 2015. Angka ini menyusut menjadi 1.214 hektare berdasarkan Sistem Informasi Monitoring Pertanaman Padi (Simotandi) per Mei 2024.
Keresahan ini yang kemudian menjadi dasar bagi Yogi dan pemuda lainnya bertemu dan membentuk Aliansi Pemuda Eks Moutong (mencakup Moutong, Taopa, Bolano, dan Bolano Lambunu).
Aksi solidaritas terus menggelinding dan menjadi ruang konsolidasi. Aliansi Pemuda Eks Moutong menunjukkan bagaimana perlawanan terjadi secara merata di berbagai daerah yang dihimpit tambang ilegal.
Kelompok ini pun mulai bergerak mengumpulkan dokumentasi aktivitas PETI di empat kecamatan tersebut.
Kepada redaksi hariansulteng.com, Yogi mengirim sejumlah foto yang menunjukkan aktivitas tambang emas ilegal di Lambunu.
Di lokasi itu, mereka mendapati ada sekitar 18-20 alat berat. Secara akumulasi, terdapat 40-an alat berat yang beroperasi di area PETI di sepanjang kawasan Eks Moutong.
Pada 2024, Aliansi Pemuda Eks Moutong membawa temuan data di lapangan ke Polda Sulteng. Mereka tak sendiri. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ikut membersamai kala itu.
“Di empat kecamatan itu ada semua titik-titik tambang ilegal. Laporan ke Polda Sulteng saat itu hanya kami sampaikan secara lisan,” terang Yogi.
Yogi mengaku pihaknya tidak menjalin komunikasi secara intens dengan kepolisian ihwal penyelidikan PETI di daerahnya. “Kami hanya memantau saja,” ucapnya.
Menurut Yogi, Polda Sulteng memang telah melakukan pengecekan langsung ke lapangan. Hasil temuan di lapangan ternyata nihil. Aparat tidak menemukan bukti keberadaan tambang ilegal.
Saat peninjauan ke lokasi PETI di Desa Kayuboko, 22 Mei 2025, Ditreskrimsus Polda Sulteng dan Polres Parimo tidak mendapati orang maupun alat berat yang melakukan penambangan.
Pihak kepolisian merasa rencana penertiban lebih dulu bocor sebelum tim tiba di lokasi. Dalam kacamata Aliansi Pemuda Eks Moutong, kebocoran informasi ini lantaran adanya keterlibatan oknum aparat dalam pusaran PETI.
“Bila dilihat proses penegakan hukum selama ini, kami menduga kuat memang ada keterlibatan anggota kepolisian. Ketika diselidiki, selalu tidak ditemukan alat berat. Tapi ketika penyelidikan selesai, alat berat di lokasi PETI justru bertambah,” tutur Yogi.
Maraknya aktivitas tambang ilegal di Parigi Moutong juga mengundang perhatian dari mahasiswa tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara.
Koordinator Bidang Lingkungan Hidup dan Kemaritiman BEM Nusantara, Muamar Khadafi, menilai praktik tambang ilegal yang terus beroperasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dari aparat kepolisian.
Menurutnya, Polda Sulteng yang dipimpin Irjen Agus Nugroho terkesan melakukan pembiaran terhadap aktivitas yang merugikan masyarakat dan berdampak buruk pada lingkungan.
Melalui keterangan resminya, Selasa (24/6), BEM Nusantara juga menyoroti indikasi keterlibatan warga negara asing (WNA) yang menjadi pemodal di balik PETI Parigi Moutong.
“Keterlibatan asing dalam tambang tanpa kejelasan hukum dan izin kerja merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan hukum imigrasi. Kami mendesak pihak kepolisian, imigrasi, dan Kementerian ESDM segera mengusut status dan peran WNA tersebut,” ucap Khadafi.
(Fandy)