“Penawaran saya Rp1,5 miliar dan tidak berubah,” ucapnya.
Pada Juli 2022, di pagi hari, Makmur diberitahu seorang warga kalau tanaman sawitnya sudah rata dengan tanah.
Peristiwa ini disaksikan banyak warga. Namun Makmur menyayangkan sikap aparat keamanan saat itu justru terkesan melindungi perusahaan.
Ia membeberkan total ada lebih dari 14 hektare lahan milik 11 warga yang tergusur termasuk miliknya.
“Saya mencegah teman-teman yang lahannya tergusur agar jangan anarkis. Namun yang saya sesali aparat harusnya memfasilitasi kami agar bisa bertemu dengan pihak perusahaan. Kok malah warga yang dijaga ketat,” imbuh Makmur heran.
“Karena persoalan tadi akhirnya lahan itu saya serahkan, dibayar 50 persen dari nilai penawaran,” ujarnya menambahkan.
Aksi Protes Berujung Kriminalisasi
Pendirian industri Huabao di Bungku Barat telah memicu konflik agraria antara perusahaan dengan masyarakat setempat.
Sejak 14 hektare lahan warga digusur tanpa sepengetahuan pemiliknya, kecaman dan protes gencar dilakukan masyarakat.
Makmur dan Rahman Ladanu termasuk aktor dalam gerakan perlawanan ini. Mereka menolak klaim sepihak oleh Huabao atas lahan tani yang dijadikan jalur hauling perusahaan.
Klaim ini diketahui setelah adanya nota kesepakatan (MoU) tukar guling aset antara Huabao dan Bupati Morowali yang diteken pada Maret 2024.
Padahal, jalan tani yang digunakan sebagai jalur hauling itu selama ini menjadi akses masyarakat untuk pergi ke kebun.
Protes warga dari sejumlah desa pun memuncak hingga mereka melakukan aksi blokade jalan produksi milik Huabao Indonesia.
Namun, protes keras ini membawa konsekuensi telak. Pada Juni 2024, Rahman Ladanu bersama 4 warga lainnya dari Desa Tondo dan Topogaro dilaporkan perusahaan ke polisi.
“Laporannya atas tuduhan menghalang-halangi investasi. Kami mendapat surat panggilan dari Polda Sulteng, namun saat itu kami belum sempat memenuhi panggilan tersebut,” ujar Rahman.
Seingat Rahman, dua bulan usai mendapat panggilan dari Polda Sulteng, dirinya juga harus menghadapi gugatan perdata yang dilayangkan Huabao.
Mereka berlima dituntut membayar nilai kerugian materiil sebesar Rp14 miliar atas aksi blokade jalan selama 3 hari dan pencemaran nama baik perusahaan.
Nasib serupa juga dialami 5 warga Desa Ambunu termasuk Makmur. Mereka dilaporkan karena dianggap menghambat aktivitas perusahaan.
“Kami mempertahankan apa yang menjadi hak kami, tapi kesannya warga malah dikriminalisasi,” imbuh Makmur.
HarianSulteng.com mencoba meminta tanggapan kepada Huabao terkait sengketa lahan antara perusahaan dan warga di Bungku Barat.
Pesan WhatsApp dikirimkan pada 12 dan 14 November 2024. Akan tetapi perusahaan belum memberikan respons hingga berita ini tayang.
Pekerja Bertaruh Nyawa
Persoalan pelik juga terjadi di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali.

Pekerja PT IMIP sesaki Jalan Trans Sulawesi, Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Senin (28/10/2024)/hariansulteng