UPT Puskesmas Wosu tak menampik bahwa aktivitas industri nikel telah memicu lonjakan kasus ISPA di Kecamatan Bungku Barat.
Data terakhir sepanjang Januari-September 2024, sudah lebih dari seribu warga yang terjangkit ISPA. 53 penderitanya merupakan bayi/balita usia di bawah 5 tahun dengan gejala pneumonia atau radang paru-paru.
“Iya ada lonjakan. Tahun 2021 itu hanya 735 kasus, tahun 2022 naik menjadi 1.200 kasus, dan tahun 2023 sedikit menurun di angka 1.148 kasus. Tapi tahun ini sampai September saja sudah seribu lebih, karena aktifnya perusahaan ini kan tahun 2024,” ungkap Kepala Tata Usaha Puskesmas Wosu, Armawati Insani, Rabu (30/10/2024).
Puskesmas Wosu beberapa waktu terakhir menerima banyak keluhan warga soal aktivitas di kawasan industri yang ditengarai menjadi penyebab polusi udara di Bungku Barat.
Saat Armawati diwawancarai, pihaknya baru berencana akan menyurati perusahaan untuk membahas pengendalian debu dan kondisi warga di sekitar tambang.
Huabao Indonesia telah melakukan beberapa upaya pengendalian debu, seperti menyiram jalan operasional yang dilalui kendaraan pengangkut bahan baku minimal 2 kali sehari saat tidak terjadi hujan.
“Laju kendaraan operasional dibatasi maksimum 40 km/jam terutama di sekitar pemukiman. Area stockpile untuk bahan baku juga diletakkan pada area tertutup agar debu tidak menyebar keluar,” kata External Manager Huabao Indonesia, Cipto Rustianto, Rabu (6/11/2024).
Cipto menambahkan, pihaknya juga telah memasang teknologi alat pengendali emisi berupa bag filter dan electrostatic precipitator (ESP) untuk pengendalian partikulat akibat operasional PLTU dan smelter.
Kala Warga ‘Dipaksa Mengalah’
Huabao mulai membangun kawasan industrinya pada tahun 2022. Sira termasuk warga Ambunu yang awalnya enggan menyerahkan lahannya kepada perusahaan.
Meski lahan-lahan di sekitar perkebunan miliknya telah dibebaskan untuk proyek pembangunan industri pengolahan nikel, Sira masih kekeh mempertahankan tanahnya.
Suatu hari, saat ingin pergi ke ladang, Sira heran melihat sudah ada bangunan di tengah jalan tani yang biasa ia lalui.
“Saya masih bertahan, tapi lahan di sekeliling itu sudah diambil. Jadi akses jalan ke kebun makin sulit karena lahan saya berada di tengah-tengah. Malah saya sempat tersesat,” ujarnya.
Kerena semakin terdesak, Sira terpaksa menjual lahannya. Uang ganti lahan itu kemudian ia jadikan modal untuk membuka usaha di sekitar kawasan industri.
“Akses jalan dan air sudah susah, mau tidak mau kita serahkan. Yang pertama diserahkan itu 3 hektare sawah milik ayah saya. Kalau dulu ada sawah, sawit, kelapa dan cokelat. Tapi sekarang sudah tidak ada, terpaksa kita serahkan,” kata Sira.
Sira bukan satu-satunya warga Desa Ambunu yang kehilangan lahan untuk bercocok tanam akibat eksplorasi tambang nikel.
Warga Ambunu lainnya, Makmur, sebelumnya memiliki lahan seluas 3 hektare berisi tanaman sawit.
Lelaki 64 tahun itu mengaku tak masalah menjual lahannya asal perusahaan mau membayar dengan harga Rp1,5 miliar.
Proses negosiasi berjalan kurang lebih 2 tahun. Namun selama itu, Makmur dan pihak perusahaan tak kunjung menemui kesepakatan.