Herman tetap curiga bahwa anaknya menjadi korban kekerasan seksual sebelum ditemukan meninggal dunia. Saat memandikan jenazah, ia melihat ada keanehan pada dubur AR.
“Saya sendiri yang memandikan jenazah bersama anggota keluarga yang lain. Banyak lebam di tubuh anak saya. Waktu saya memasukkan kapas ke duburnya itu sangat mudah. Agak besar, longgar. Saya suruh keluarga lain untuk melanjutkan, saya sudah tidak mampu,” ungkapnya.
Dugaan keluarga mengenai adanya tindakan kekerasan seksual ini kian menguat ketika melihat cairan di sekitar kelamin dan mulut korban.
Herman sempat menandatangani surat berita acara penolakan autopsi terhadap jenazah AR. Surat itu ditandatangani sesaat seusai proses pemakaman pada Rabu (1/11/2023) dan belum didampingi LBH Sulteng.
Namun karena merasa janggal atas penjelasan kepolisian terkait kematian anaknya, keluarga bersedia membongkar makam dan dilakukan autopsi.
“Selaku keluarga, demi keadilan dan mengungkap kebenaran saya siap (lakukan autopsi). Apalagi mendengar berita seperti ini,” ucap Herman.
3) Motif gegara Sakit Hati
Kasatreskrim Polresta Palu, AKP Ferdinand E Numbery membeberkan motif dalam kasus pembunuhan bocah AR.
Terduga pelaku menghabisi nyawa AR karena tersinggung dan sakit hati dikata-katai oleh korban saat berboncengan naik sepeda.
“Pelaku mengajak korban bermain stik es krim. Tapi stik itu tidak ada, hanya modus. Jalanlah mereka sampai dapat jalan yang rusak, di situ mereka berdua terjatuh. Pelaku seketika meluap emosinya ketika dikatakan ‘nambongo (bodoh) kau, tidak bisa bawa sepeda’,” kata Ferdinand menceritakan pengakuan terduga pelaku.
Karena perkataan kasar korban inilah, terduga pelaku mengeksekusi AR dengan cara mencekiknya.
Saat melihat AR dalam kondisi tak berdaya, terduga pelaku melucuti pakaian dan memainkan alat vital korban
Kemudian berdasarkan pengakuan orangtua, pelaku memang mudah terpancing emosi. Ia biasa melampiaskan amarah dengan memukul tembok ketika berada di rumah.
“Anak ini biasa emosinya suka meledak-meledak, betul tidaknya nanti diobservasi. Yang jelas begitu dia (pelaku) dengar dikatakan nambongo, emosinya meledak-ledak,” ujar Ferdinand.
Selvia merasa tak terima jika anaknya disebut berkata-kata kasar yang menjadi penyebab pelaku melakukan pembunuhan.
Ia sangat mengetahui sifat dan karakter sang anak. Selvia bersama anggota keluarga yang lain mengenal AR sebagai anak pendiam, tak pernah berkata kasar apalagi kepada orang yang baru dikenal.
“Saya keberatan jika anak saya dikatakan berbicara kasar, sedangkan saya tahu anak saya tidak pernah berbicara kasar sama orang. Saya tahu betul karakter anak saya. Dia pendiam. Adiknya saja yang pukul dia menangis. Apalagi mau dibilang suka berkata-kata kasar, kami tidak terima semua itu,” ujar Selvia.
(Red)