Oleh: Muharram Nurdin
Ketua DPD PDI Perjuangan Sulawesi Tengah
Marak di pemberitaan media tentang Omnicom (OMC). Masyarakat terbelah dua; antara yang percaya dan tidak. Mereka yang tidak percaya menuding bahwa OMC adalah skema Ponzi. Sementara kubu yang percaya kukuh bahwa OMC murni investasi.
Tiga hari terakhir mulai timbul kegaduhan. Mereka yang dulu percaya mulai was-was karena beberapa kasus yang mengarah pada tanda-tanda akan kolaps dan investasi akan lenyap.
Saya tidak akan membicarakan soal kolaps atau lenyapnya OMC di Palu dan Sulawesi Tengah. Saya hanya akan sedikit berbagi mengapa OMC dan rentenir berjaya dalam putaran ekonomi rakyat miskin. Problem utamanya karena pemerintah gagal memberikan stimulan terhadap perekonomian masyarakat.
Berita dari ruang rapat Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran Pemda Sulteng bulan Mei 2025 menginformasikan, daya serap APBD baru mencapai angka 25%. Padahal idealnya sudah bisa tembus sampai angka 45%.
Apa akibatnya ketika belanja pemerintah lelet? Satu yang pasti roda perekonomian akan tersendat. Uang akan menghilang dari pasar dan masyarakat kelimpungan. Suka atau tidak, ekonomi Sulteng sangat bergantung pada belanja pemerintah.
Kita tidak bisa berharap banyak dari investasi tambang. Sebab investasi tambang membawa siklus capital fight. Uang beredar sangat terbatas karena pelaku utamanya berada di luar Sulteng, mulai dari pajak kendaraan bermotor hingga gaji karyawan “terbang” ke luar Sulteng.
Mungkin yang beredar di lokasi tambang tidak mencapai 10%. Itu sebabnya hitungan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Sulteng berada pada angka yang menggembirakan, tapi ironisnya masyarakat miskin maksimal hanya bisa ditekan 2% per tahun.

Ketua DPD PDI Perjuangan Sulteng Muharram Nurdin (Foto: Moh. Rifky)
Kembali pada soal OMC dan rentenir, sejumlah desa nampak terpampang papan nama kantor OMC. Sangat berbeda dengan kantor rentenir yang tak pernah terpublikasi kecuali dari informasi mulut ke mulut. Dua model pemasaran yang mewakili zaman berbeda, tapi hidup pada era yang sama.
OMC mewakili era digital dan modernisasi. Sementara rentenir mewakili era lampau dengan gaya tradisional. Kedua model perekonomian tersebut telah menjerat ruang kebahagiaan masyarakat.
Masyarakat dipaksa menerima kedua model tersebut karena sekali lagi pemerintah gagal menunaikan tugas konstitusionalnya; menyejahterakan kehidupan rakyatnya.
Dalam situasi seperti itu, datang OMC yang menjanjikan keuntungan instan, di tengah masyarakat kita yang sudah lelah dengan tagihan rentenir. Siapa yang tidak tergiur dengan investasi sedikit, tapi hasil maksimal dan tidak perlu bekerja keras?
Cukup punya handphone dan duduk santai di bawah pohon atau di mana saja sambil berkhayal sedikit lagi jadi jutawan. Kalau lebih berani dan mau bersabar bisa jadi milyarder sambil kita meneguk kopi pahit. Bukan karena suka kopi pahit, tapi karena gula di dapur mulai berkurang.
Sebagai penutup, izinkan saya bertanya mengapa pemerintah kita seolah diam membisu melihat fenomena ini? Bukankah sebuah kantor atau tempat usaha perlu mengantongi izin? Atau pemerintah juga keasyikan menonton rakyatnya yang mulai bermimpi jadi jutawan?
Atau pemerintah memang sengaja memberi peluang rakyatnya semakin terpuruk? Jangan nanti jadi masalah lalu kita mengutuk rakyat miskin karena ingin jadi jutawan. Tugas pemerintah menurut konstitusi adalah melindungi rakyatnya. Segera bertindak dan jangan gagap.