Tidak hanya ADB, Taman Nasional Lore Lindu sejak lama telah didanai oleh lembaga keuangan Internasional seperti USAID, dan dilaksanakan pendanaan tersebut melalui program-program pemberdayaan yang lebih mengarahkan pada perubahan perilaku atau budaya agrarian masyarakat. Lembaga yang paling diingat masyarakat yang justru mendapat tentangan bagi masyarakat adat yaitu The Nature Conservacy (TNC).
Dalam studi Tania Li, TNC memisahkan akar kemiskinan Masyarakat dengan keberadaan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu dalam Theory of Change mereka. Justru lebih mengarahkan perhatian mereka pada kegiatan ekonomi oportunistik Masyarakat di lingkar batas TNLL dengan praktek ekonomi Masyarakat dari luar.
Hal ini yang membuat TNC melakukan “The Will to Improve” dengan cara mengusulkan pembentukan organisasi tingkat desa serta mengalihkan aktivitas kaum muda agar tidak menyentuh areal Taman Nasional Lore Lindu, membuat usaha mikro, usaha pemasaran madu, wisata arung jeram, peternakan kupu-kupu, dan peternakan lebah.
Alih-alih TNC mendorong ekonomi Masyarakat miskin di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, justru hal itu sulit dibuktikan oleh mereka. Demikian riset Tania Li dalam bukunya.
Selain TNC, ada STORMA dari Jerman. Sebuah lembaga riset yang fokus pada keanekaragaman hayati di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Sama halnya dengan TNC, STORMA lebih fokus menilai perilaku masyarakat yang mereka nilai dapat merusak tatanan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu. Sehingga, setiap laporan mereka, istilah masyarakat ‘terasing’ atau ‘tertinggal’ menjadi sasaran bagi rencana tindak lanjut mereka di akhir laporan risetnya.
Pematokan atau pemancangan tapal batas adalah perampasan tanah bagi masyarakat yang hidup di kawasan hutan. Inilah yang disebut enclosure. Pematokan juga telah menjadikan tanah sebagai aset yang dimonopoli oleh tuan tanah dan perusahaan. Inilah yang kemudian menciptakan penambang-penambang di TNLL yang di mana tambang emas merupakan alternatif bagi kemiskinan yang mereka alami sejak lama.
Perlu diketahui, di Desa Sidondo, Sibowi hingga Sibalaya, desa di tapal batas TNLL ini telah lama ter-enclosure dari tanah mereka. Ditambah lagi, pascabencana alam, irigasi Gumbasa belum kunjung selesai. Banyak Masyarakat menjadi petani penggarap dan buruh tani. Sisanya buruh tambang baik, di tambang emas maupun buruh di Morowali.