Fenomena ini menurut dia berlangsung sejak tahun 2015. Tidak berubah hingga kini. Padahal, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, mengharuskan buruh libur sehari dalam sepekan.
Bekerja di bawah manajemen pihak ketiga, diakuinya membuat tuntutan pemenuhan hak-hak dasar bak meniti jalan terjal.
Tuntutan perubahan kontrak kerja, tak pernah berhasil. “Kami ketemu dengan Manajemen IMIP. Tapi IMIP bilang itu bukan tanggungjawab mereka,” katanya dengan nada tinggi.
Ini karena, yang mengantongi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah managemen KUPI dengan IMIP. Mereka tidak bisa mengakses PKB antara IMIP dan Managemen KUPI.
“Kami minta. Kami mau lihat seperti apa, tapi tidak pernah diperlihatkan,” ujar Hidayat.
Sistem penggajian dinilai absurd. Slip gaji tidak merinci komponen apa saja yang masuk dalam penggajian.
“Karyawan hanya disodori slip gaji yang besarnya mulai Rp3,6 – Rp3,9 juta. Namun tidak ada hitungan total take home pay-nya meliputi apa saja,” ucapnya.
Karena itu, Hidayat dan kawan-kawannya akan menggelar aksi protes menuntut transparansi dan perubahan kontrak. Paling lambat Januari 2025 dijanjikan akan ada pembaruan kontrak.
“Desember ini kita rencanakan demo seluruh karyawan KUPI,” ungkap Hidayat.
Protes itu untuk mengingatkan, perusahaan yang mengabaikan hak-hak mereka selama beberapa tahun.
Di hadapan petinggi perusahaan yang hanya mementingkan laba, perjuangan Hidayat dan kawan-kawan adalah nyala api yang tak kenal padam. Mereka melawan ketidakadilan atas kerja yang tak dihargai.
Konfrontasi Buruh vs Perawat
Buruknya manajemen di KUPI menurut Hidayat tergambar dari seringnya konfrontasi antara perawat dan buruh yang berobat.
Ada perawat yang dipukul. Ada meja yang didobrak. Hingga bentuk kekerasan lainnya. Penyebabnya protes buruh yang tidak puas dengan pelayanan. Pada awal atau akhir bulan, pelayanan selalu dibatasi.
Cukup 180 hingga 200 pasien per hari. Sementara, antrean mencapai 500 orang lebih. Belum termasuk warga non karyawan.
“Buruh yang tidak mendapat pelayanan, marah, dobrak meja, sampai memukul perawat,” ungkap pria asal Poso Pesisir, Kabupaten Poso ini.
Pengalaman perawat bernama Melklesius Lelengaya lain lagi. Ia tidak mendapat upah atas perjalanannya mendampingi pasien yang tewas saat meledaknya tungku smelter PT ITSS pada 24 Desember 2023.
Ia mendampingi pasien berobat selama 15 hari di Jakarta dan 3 bulan di Makassar. Selama mendampingi, sering menggunakan uang pribadi.
“Saya dimintai rekening. Katanya mau ditransfer uang jalan. Tapi hanya diprank. sampe sekarang tidak ada,” kesalnya.
Melklesius pernah beberapa kali ke ruang pimpinan untuk mempertanyakan haknya itu. Terakhir menghadap, ia diancam PHK.
“Ya betul. Kawan saya ini sudah ada pemberitahuan PHK, karena minta haknya,” timpal Hidayat yang menemaninya wawancara.
Hidayat dan Melklesius kini menghimpun diri di Serikat Buruh Militan (Sebumi). Di Sebumi, Hidayat dan kawan-kawan memperjuangkan haknya yang tak kunjung mendapat perhatian.
Di balik seragam putih mereka, Hidayat dan kawan-kawan terus mengabdikan jiwa untuk manusia. Namun mereka dihargai oleh angka yang jauh dari layak.