Unit kerja di furnace, risikonya sangat tinggi. Kerja di dekat suhu di atas rata-rata. ‘’Kami bekerja 8 jam dengan suhu panas debu, dan asap tapi APD seadanya,’’ tekannya dengan nada tinggi.
Perusahaan menjanjikan jika pandemi Covid-19 normal kembali, maka akan dikembalikan pada jam kerja seperti sebelumnya. Namun sampai hari ini, janji itu tak kunjung dipenuhi.
Masih menurut Michael, selain fasilitas dan keselamatan kerja, perusahaan cenderung mengekang hak berserikat.
“Melarang secara langsung memang tidak pernah. Tapi larangan dalam bentuk lain sangat terasa,” katanya.
Misalnya, jika ketahuan ikut serikat buruh diancam dimutasikan. Didemosi atau dipersulit bahkan ada yang diintimidasi.
Michael yang tergabung dalam Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM), mengaku kerap menyampaikan masalah buruh ke atasannya. Namun aspirasi mereka tidak pernah disahuti.
Nyaris setiap hari selalu ada problem buruh yang disampaikan. Mulai dari PHK, sanksi yang tidak masuk akal. Misalnya duduk menunduk dibilang tidur. Itu bisa berbuah sanksi.
“Ini sanksi akal-akalan untuk menghalangi orang yang ketahuan berserikat,” pungkas ayah empat anak ini.
Di depan tungku smelter yang menyala, Michael berdiri setiap hari. Keringat bercucuran. Tanpa perlindungan yang layak. Dengan tubuhnya sendiri menahan panas. Itu dilakukan tak hanya demi nafkah keluarga. Tapi demi devisa. Demi negara yang tak peduli pada orang-orang seperti dirinya.
Buruh Perempuan Mengalami Serangan Seksual
Perlakuan buruk terhadap buruh adalah cermin ketidakadilan yang merendahkan martabat pekerja. Sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang tidak manusiawi.
Yunita Hartina, buruh perempuan yang bekerja di kantin WNA China di perusahaan PT DSI mengaku kerap mengalami serangan seksual.
Bentuk serangan yang dialaminya, mulai meremas payudara, memukul bokong hingga sengaja menyenggol bagian tubuh tertentu.
Buruh perempuan yang lain, juga kerap mengalami serangan serupa. “Ini yang tindakan fisik. Belum yang nonverbal. Disiul-siul atau memperlihatkan gesture yang tidak pantas,” ungkap Yunita yang ditemui di kediamannya.
Ia menambahkan, hingga kini masih shock mengalami peristiwa tersebut. “Tiba-tiba ada orang muncul langsung memegang payudara, kita jadi trauma,” katanya.
Peristiwa itu bahkan terus terulang. Selalu dilaporkan tapi tidak ada tindakan sanksi. “Biasanya kita laporkan ke atasan. Pelakunya dipanggil. Hanya diperingati. Setelah itu, tidak ada tindakan apa-apa,’’ ujar ibu empat anak ini.
Akibatnya, serangan seksual terus saja terulang karena tidak ada efek jera. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut dia, selalu menghantuinya hingga kini.
Soal cuti haid juga sempat bermasalah. Pernah, dua rekannya mengurus cuti. Hanya satu orang yang diizinkan.
Pengalaman lain, para pemegang cuti hamil gajinya dipotong sebesar Rp400 ribu untuk izin cuti dua hari. Hak-hak buruh perempuan ini yang diperjuangkannya. Hingga akhirnya manajemen melunak.
Namun ia menambahkan, saat ini banyak buruh perempuan yang memilih tidak mengambil cuti haid.