HARIANSULTENG.COM, PALU – Sejumlah massa tergabung dalam Fraksi Bersih-bersih Sulteng menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day 2025.
Aksi itu dipusatkan di Tugu Jam Kota Palu di simpang Jalan Juanda-Jalan Jenderal Sudirman-Jalan Cut Nyak Dien, Minggu (09/03/2025).
Fraksi Bersih-bersih Sulteng menilai International Women’s Day menjadi momentum untuk menyuarakan berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan.
Di tengah kekerasan berbasis gender semakin meningkat, negara justru memotong anggaran perlindungan perempuan dan membiarkan eksploitasi terus terjadi.
Tahun ini, Komnas Perempuan kehilangan 39,41 persen anggarannya, turun dari Rp47,7 miliar menjadi Rp28,9 miliar.
Sementara itu, Kementerian PPPA mengalami pemangkasan dari Rp300,65 menjadi Rp153,77 miliar, atau sebesar 48,86 persen.
“Pemotongan ini mengancam layanan bagi korban kekerasan, pendampingan hukum bagi perempuan korban pelecehan dan KDRT, serta upaya pencegahan kekerasan berbasis gender,” ungkap Stevi, salah satu massa aksi.
Di saat yang sama, anggaran kesehatan dan pendidikan yang seharusnya menjadi jaring pengaman bagi perempuan dan anak perempuan juga ikut dipangkas.
BPJS bagi penerima bantuan terancam dihentikan, program pemenuhan gizi ibu dan anak terganggu, dan beasiswa bagi anak perempuan dari keluarga miskin semakin sulit diakses.
Di sektor industri dan pertambangan, perempuan kerap dijadikan tenaga kerja murah yang dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi.
Stevi mencontohkan kasus di Morowali dan Morowali Utara. Buruh perempuan menghadapi jam kerja panjang tanpa kompensasi yang layak.
Upah mereka tergolong rendah dan tidak ada jaminan sosial, cuti haid dan cuti melahirkan yang sering ditolak, risiko kecelakaan kerja yang tinggi akibat minimnya perlindungan, serta pelecehan di lingkungan kerja tanpa mekanisme perlindungan yang jelas.
Eksploitasi terhadap buruh perempuan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga gambaran ketimpangan gender yang semakin diperparah.
Belum lagi, ujar dia, laporan dari berbagai organisasi buruh dan lingkungan menunjukkan bahwa kondisi di sektor pertambangan dan industri ritel semakin buruk bagi buruh perempuan.
“Mereka yang berani bersuara atau berserikat justru mendapat ancaman, tekanan, bahkan pemecatan,” jelas Stevi.
Ia menambahkan, di desa-desa sekitar industri pertambangan, perempuan menghadapi krisis air bersih akibat eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan tambang.
Air yang dulunya bisa diakses dengan mudah, kini harus dibeli dengan harga mahal. Jarak tempuh untuk mendapatkan air bersih semakin jauh, membebani perempuan yang juga harus mengurus keluarga.
Dampak kesehatan dari pencemaran air yang ditimbulkan mengancam ibu hamil dan anak-anak. Sementara itu, perempuan yang mencoba bersuara justru diintimidasi, dipinggirkan, bahkan dikriminalisasi.
Di Papua, perempuan menghadapi perampasan tanah besar-besaran dengan dalih pemekaran wilayah otonomi baru.
Perempuan Papua yang mempertahankan tanahnya justru dianggap musuh negara. Tanah adat yang menjadi sumber kehidupan perempuan Papua diambil alih untuk proyek-proyek kapitalis, sementara aparat dan perusahaan bersekongkol untuk menekan perlawanan perempuan Papua dengan kekerasan dan kriminalisasi.