HARIANSULTENG.COM, PALU – Sebanyak 12 jurnalis berasal dari Palu, Luwuk dan Parigi Moutong, mengikuti pelatihan terkait peliputan berperspektif gender.
Pelatihan Media Fellowship Initiative bertema “Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda dalam Perdamaian Berkelanjutan” ini digelar di salah satu hotel di Kota Palu, Sulawesi Tengah mulai 18 – 20 Februari 2025.
Kegiatan ini digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama UN-Women, Koica, Care Indonesia, Karsa Institute, dan AJI Kota Palu.
Adapun trainer dalam pelatihan tersebut di antatanya Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida dan Ira Rachmawati dari Satgas Anti Kekerasan Seksual AJI Indonesia.
Tidak hanya materi dalam ruangan, peserta jyga mengunjungi Desa Pesaku, Kabupaten Sigi yang menjadi kawasan di mana perempuan dan pemuda ikut serta menjaga perdamaian.
Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida mengatakan, perempuan dianggap rentan ketika berada dalam situasi di mana ia tidak memiliki kekuatan atau kendali atas dirinya sendiri.
Kerentanan ini sering kali berakar pada struktur sosial yang memperburuk ketidaksetaraan terhadap perempuan.
“Kerentanan bukan hal yang melekat. Ada faktor yang menyebabkan,” ucap Nany.
Ia menjelaskan, pemberdayaan perempuan adalah kunci untuk mengatasi ketidaksetaraan dan membantu mengurangi kerentanan.
Isu tentang perempuan harus digaungkan kembali, karena perempuan memiliki peran besar disetiap tempat yang terjadi konflik.
Nany juga mengingatkan bahwa pendekatan dalam meliput perempuan korban konflik dan bencana harus dilakukan dengan sensitif, etis, dan menghormati martabat mereka.
“Jurnalis harus berempati terhadap korban dibandingkan dengan bersimpati. Saat melakukan peliputan, jurnalis tidak mengeneraliasi hal yang berkaitan dengan liputan. Saat melakukan wawancara korban, terlebih dahulu jurnalis harus meminta izin kesediaan untuk di wawancara,” tekan Nany.
Sementara itu, Perwakilan UN-Women, Yulies Puspita Ningtias dalam materinya menjelaskan tentang konsep women, peace and security (WPS).
Dirinya menyampaikan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga perdamaian.
Namun, ujar Yulies, masih banyak bagian yang membuat perempuan belum merasa aman, sehingga perlu kebijakan sebagai upaya untuk memenuhi kemamanan dari perempuan.
“Perempuan juga masih membutuhkan keamanan, serta turut berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian di berbagai negara yang saat ini berusaha membangun perdamaian,” ungkapnya.
Saat ini, UN-Women dan mitranya mengimplementasikan program pemberdayan perempuan di tiga lokasi, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah (Sulteng).
Tiga wilayah tersebut memiliki satu kesamaan yaitu terkait ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
“Tiga lokasi tadi memiliki kesamaan lain yaitu pemenuhan rasa aman dari perempuan. Baik itu dari kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual,” kata Yulies.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Karsa Institute, Rahmad Saleh, menyebut Sulteng memiliki kerentanan konflik horizontal, dan ketika konflik itu terjadi, perempuan menjadi rentan atas kejadian tersebut.