Oleh: Stevi Rasinta
Perempuan Mahardhika Palu
Sudah 100 hari Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reny A. Lamadjido memimpin Sulawesi Tengah dengan slogan “BERANI” (Bersama Anwar-Reny). Namun, kami belum melihat keberanian yang berpihak pada rakyat—khususnya perempuan dan buruh—di tengah krisis yang ditimbulkan industri ekstraktif nikel.
Di Morowali dan Morowali Utara, industri nikel terus meluas tanpa kontrol. Ruang hidup masyarakat rusak, sumber air tercemar, dan kesehatan terganggu. Data Dinas Kesehatan Sulteng mencatat, sepanjang 2023 terdapat 55.527 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Bahodopi. Hingga triwulan ketiga 2024, angkanya telah mencapai 46.739 kasus.
Sementara itu, Yayasan Tanah Merdeka mencatat 33 kecelakaan kerja sepanjang 2024, akibat buruknya standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Perempuan menjadi kelompok paling terdampak. Kehidupan mereka yang sebelumnya bergantung pada alam—bertani, menangkap ikan, mengambil air dari sungai—terusik oleh tambang dan smelter yang mencemari lingkungan.
Banyak perempuan kini terpaksa bekerja di sektor informal tanpa perlindungan. Belum ada keberpihakan nyata dari pemerintah untuk melindungi buruh perempuan, mulai dari upah layak, fasilitas pengasuhan anak, hingga tempat tinggal memadai.

Buruh perempuan di kawasan IMIP (Sumber: imip.co.id)
Saat peringatan Hari Kartini tahun ini, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, dr. Reny A. Lamadjido, mengajak perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Pun menekankan pentingnya akses kesehatan dan pendidikan melalui program “Berani Sehat” dan “Berani Cerdas”.
Namun, pernyataan tersebut perlu ditinjau lebih kritis. Realitasnya terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang mengkhawatirkan di Sulawesi Tengah. Hingga kini belum ada langkah perlindungan yang memadai.
Meskipun “Berani Cerdas” bertujuan meningkatkan akses pendidikan, anak-anak perempuan di daerah terpencil masih menghadapi hambatan. Tanpa upaya konkret untuk mengatasi kesenjangan ini, program tersebut berisiko tidak mencapai sasarannya.
Ini sama halnya dengan retorika tanpa implementasi nyata. Pernyataan yang mengajak perempuan menjadi “Kartini masa kini” perlu didukung oleh kebijakan dan program nyata. Tanpa itu, ajakan tersebut berisiko menjadi sekadar retorika tanpa dampak signifikan bagi pemberdayaan perempuan di Sulawesi Tengah.
Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momentum untuk refleksi dan aksi nyata dalam memberdayakan perempuan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah perlu memastikan bahwa program-program yang dicanangkan benar-benar menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi perempuan di tapak, khususnya di sekitar kawasan industri.

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (Sumber: Yayasan Kesehatan Perempuan)
Kita sebagai perempuan diajak berpolitik namun penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak belum dianggap serius. Jika ingin mengajak “BERANI” sehat dan cerdas, masalah utama harus teratasi lebih dahulu, bukan menawarkan program yang tidak berpihak pada penanganan kasus.
Kami merasa tidak aman dan nyaman jika diajak BERANI di tengah kondisi yang semakin mencekam. Justru ini menambah beban yang akan merusak kondisi kami sebagai perempuan juga pekerja yang ada di sekitar kawasan industri nikel.
Oleh karena itu, kami menuntut agar Anwar-Reny segera mengaudit seluruh Izin Usaha Pertambangan dan aktivitas hilirisasi nikel, menindak tegas pelanggaran lingkungan yang mengancam kesehatan rakyat, memberikan perlindungan menyeluruh untuk pekerja perempuan, menghentikan kriminalisasi terhadap warga pembela tanah, dan melakukan transparansi kebijakan dan pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Pemimpin sejati hadir di tengah rakyatnya, bukan hanya dalam branding di media sosial. Kelihatan baik dan tak ada yang terjadi. Padahal Sulteng sedang terancam dan bangkrut bagi saya. Kenapa? Karena pengrusakan sumber daya alam dan perampasan ruang hidup perempuan terus berjalan dan tidak sejalan dengan program pemimpinnya.
Jika dalam 100 hari saja tidak ada keberpihakan nyata, bagaimana kami bisa percaya pada lima tahun ke depan?
Ini bukan masa kerja yang membanggakan, tapi sebuah peringatan:
Jika pemimpin terus melupakan perempuan, maka rakyat yang akan membangunkannya kembali.