HARIANSULTENG.COM, PALU – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hari ini, Minggu (7/8/2022) genap berusia 28 tahun.
Sejarah terbentuknya organisasi wartawan ini bermula dari pembredelan besar-besaran oleh rezim Orde Baru menjelang masa transisi menuju reformasi.
Hal tersebut ditandai dengan pembredelan terhadap media Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994.
Ketiganya dibredel karena pemberitaannya dianggap sangat kritis terhadap pemerintahan Soeharto.
Tindakan represif ini kemudian memicu kontroversi dan perlawanan khususnya dari kalangan jurnalis di berbagai daerah.
Di tengah situasi jeratan politik tersebut, sejumlah orang dari kalangan jurnalis dan kolumnis sepakat berkumpul di Sirnagalih, Bogor pada 7 Agustus 1994.
Dalam pertemuan itu, sebanyak 58 jurnalis menandatangani Deklarasi Sirnagalih sekaligus memploklamirkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen.
AJI dibentuk sebagai wadah bagi wartawan yang tegas menolak berbagai bentuk pengekangan dan pembungkaman terhadap pers.
Namun konsekuensi keberanian ini sungguh telak, AJI dimasukkan ke dalam daftar organisasi terlarang di era Orde Baru.
Kondisi ini membuat para anggotanya memilih menjalankan penerbitan bawah tanah untuk mengindari konfrontasi langsung dengan penguasa.
Pola kerja organisasi semacam ini dinilai efektif namun mesti dibayar dengan harga teramat mahal pada sisi yang lain.
7 bulan usai terbentuk atau pada Maret 1995, tiga anggota AJI dijebloskan ke penjara, yakni Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo.
Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, sementara Danang menjalani kurungan 20 bulan.