Sampah selalu identik dengan bau, kotor, dan tidak bernilai. Maka sebagian orang menganggapnya masalah. Di kota seperti Palu yang telah mendapatkan Piala Adipura 2023, menjaga kebersihan menjadi suatu keharusan.
Namun, pada praktiknya sangat sulit mewujudkan hal tersebut jika semata mengandalkan kesadaran dari warga. Maka kehadiran para petugas yang tergabung dalam program Padat Karya menjadi garda terdepan dalam menjaga kebersihan kota.
Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rata-rata produksi sampah setiap orang yang ada di Indonesia adalah 0,7 kilogram. Angkat ini dapat bervariasi tergantung lokasi dan pola konsumsi.
Setiap tahun Kota Palu menghasilkan total sekitar 97.492 ton. Sekitar 10% dari jumlah tersebut berupa sampah plastik atau 10.139,76 ton per tahun. Jenis sampah plastik adalah momok. Selain sulit dan butuh waktu yang sangat lama terurai alami, kurangnya kesadaran masyarakat juga jadi tantangan tersendiri.
Salah arti TPA juga masih banyak terjadi. TPA sering dianggap sebagai Tempat Pembuangan Akhir. Padahal semestinya TPA adalah Tempat Pemrosesan Akhir. Sebab pada dasarnya sampah harus diproses dan dikembalikan ke lingkungan dengan aman.
Jadi bila merujuk pemahaman ini, seharusnya sampah telah dipilah terlebih dahulu dari rumah. Sehingga petugas TPA tidak mengalami kesulitan saat memilah sampah sebelum menuju tempat pembuangan akhir.
Beragam upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah atau komunitas, untuk mengatasi menggunungnya sampah plastik. Salah satu ikhtiar tersebut adalah menghadirkan bank sampah di tengah-tengah masyarakat.
Tujuannya tak lain agar masyarakat mulai memilah jenis sampah dan mereduksi sampah yang sulit terurai menuju TPA. Namun, program tersebut kini hanya dijakankan oleh pemulung. Mereka biasa berkumpul menunggu datangnya sampah, lalu memilahnya sesuai jenis, mulai dari plastik, botol, atau kardus, lalu kemudian menimbangnya ke pengepul sampah untuk mendapatkan imbalan uang.
Kesadaran dari masing-masing warga untuk memilah sendiri sampah berdasarkan jenisnya makin terkisis. Seiring sejalan dengan program atau penyuluhan tentang pentingnya memilah sampah yang makin jarang.

Seling kini sudah punya dua titik lokasi bank sampah, yaitu di Pantoloan dan Lolu Selatan (Sumber: Mawan/hariansulteng.com)
Dari sekian bank sampah yang ada, Sekolah Edukasi Lingkungan (Seling) hadir dengan beragam program yang berimbang dari sisi edukasi dan profit. Sejauh ini Seling telah memiliki dua titik lokasi bank sampah.
Lokasi pertama berada di Jalan Maluku, Kelurahan Lolu Selatan, dengan nama Bank Sampah Ceria. Berikutnya adalah Bank Sampah Panboy di Jalan Merdeka, Kelurahan Pantoloan Boya.
“Sebenarnya memahamkan masyarakat yang lebih penting. Sampah selalu dihasilkan tiap hari, tapi kan selalu disatukan segala jenis sampah. Karena masyarakat anggap sampah itu kotor dan tidak punya nilai. Padahal sampah plastik itu tidak mungkin bau atau kotor kalau tidak dicampur dengan sampah sisa makanan,” ujar Vino Putra, Koordinator Program Bank Sampah, Minggu (13/5/2025).
Vino menyadari bahwa edukasi mengenai dampak buruk sampah plastik tidak serta merta mendapat sambutan baik dari warga. Apalagi jika pesan yang disampaikan masih merupakan prediksi apa yang terjadi kemudian hari.
Belum lagi kehadiran retribusi sampah bagi sebagian orang masih dianggap sebagai beban pengeluaran tambahan yang memberatkan. Itu mengapa penghasilan tambahan jadi narasi awal yang mereka sampaikan kepada masyarakat.
“Awalnya, kan, pendapatan ekonomi yang disampaikan. Pelan-pelan kami sampaikan lagi bahwa harga sampah botol yang sudah terpilah lebih tinggi daripada harga yang dicampur,” tutur Vino.
Tugas masyarakat sekitar bank sampah dibuat mudah. Cukup memilah sampah botol plastik dan kaleng sesuai jenisnya, lalu mereka bisa timbang dan hasilnya bisa diambil saat itu juga. Bisa juga hasilnya mereka ambil belakangan setelah merasa jumlahnya sudah cukup banyak sesuai dengan skema menabung di bank. Buku tabungan kepada nasabah bank sampah telah pula disiapkan.
Biasanya warga yang telah menjadi nasabah bank sampah menjalankan skema arisan atau hasil pendapatan mereka tukar dengan perlengkapan rumah tangga.
Selain berdampak pada ekonomi masyarakat sekitar bank sampah, Seling juga menjalin kerja sama dengan beberapa sekolah untuk melakukan sosialisasi edukasi lingkungan yang rutin di laksanakan.
Contohnya kolaborasi dengan Program Eco School yang dilakukan Yayasan Karunadipa. Program ini menyasar generasi muda agar bisa pelan-pelan mengubah kebiasaan atau gaya hidupnya agar tidak mencemari lingkungan.
“Kami juga membuka ruang kerja sama dengan pemilik kedai kopi. Mereka cukup pilah saja bekas gelas plastiknya dan setiap dua kali seminggu kami jemput. Hasilnya bisa dibayarkan retribusi sampah dan kalau berlebih kami beri dalam bentuk tunai. Sejauh ini Pasar Kopi, GIS Coffee, Koniciwa, dan Arobi yang sudah lakukan kerja sama itu,” jelas Vino.
(Mawan)