HARIANSULTENG.COM, PALU – Diskusi mengenai bias gender dalam pemberitaan mengemuka dalam pelatihan “Perubahan Narasi Gender di Media Lewat Jurnalisme Konstruktif”.
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Magdalene bekerja sama dengan US Agency for Global Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu di Hotel Santika, Jalan Moh Hatta, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (10/2/2023).
Magdalene merupakan portal media online yang didirikan sejak 2013 dengan berfokus terhadap isu-isu gender.
Ketua AJI Palu, Yardin Hasan menyatakan bahwa media di wilayahnya masih bias gender dalam peliputan dan pemberitaan.
Dalam konferensi pers akhir tahun 2022, AJI Palu menyampaikan hasil riset sederhananya tentang porsi perempuan sebagai narasumber dan objek berita.
Dari 25 media cetak dan online, hasil penelusuran AJI Palu menunjukkan narasumber perempuan mendapatkan porsi memadai sebesar 80 persen.
Kendati demikian, kata Yardin, suara perempuan dalam pemberitaan media kebanyakan berasal dari kalangan elit birokrasi dan politisi.
“Potret media di Kota Palu masih memprioritaskan narasumber laki-laki ketimbang perempuan. Kalaupun ada hanya berasal dari pejabat dan politisi, belum menyentuh persoalan perempuan akar rumput,” katanya.
Irma, seorang peserta menceritakan pengalamannya saat ingin mewawancarai perempuan yang menjabat kepala dinas.
Alih-alih ingin menampilkan narasumber perempuan, dirinya justru diarahkan untuk menggali keterangan pejabat lain dari kalangan laki-laki.
“Saya berulang kali membuat janji untuk wawancara, tapi katanya nanti dihubungi kembali. Saat saya bertemu di kantor, malah diminta mewawancara kabid,” ujar Irma.
Sulitnya mengakses narasumber perempuan juga diakui Jurnalis VOA, Eva Mazrieva. Menurutnya, perempuan acap kali kurang percaya diri terhadap apa yang dibicarakannya.
“Bukan nggak mau ya, tapi narasumber perempuan kita belum bersedia atau merasa belum sekuat sumber daya laki-laki,” ucap Eva melalui tayangan Zoom langsung dari Washington DC, Amerika Serikat.
Founder sekaligus Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani menganggap hambatan eksternal seperti ini sering terjadi dalam kerja-kerja jurnalistik.
Sebagai seorang perempuan, Devi menyebut perempuan cenderung was-was dan lebih berhati-hati dalam memberikan keterangan kepada wartawan.
Alhasil, mewawancarai narasumber yang paling mudah dihubungi menjadi pilihan sehingga turut menjadi penyebab ketimpangan jumlah narasumber laki-laki dan perempuan.
“Ini menjadi persoalan sekaligus tantangan. Kalau bisa AJI Palu membuat pelatihan bagi perempuan yang menjabat di lembaga-lembaga pemerintah. Berikan edukasi bahwa media itu tidak semenakutkan yang dibayangkan,” jelasnya.
Selain itu, Devi menyarankan AJI Palu membuat database atau daftar narasumber perempuan. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan jurnalis dalam rangka menyetarakan narasumber perempuan dalam pemberitaan.
“Kami juga usul AJI Palu membuat daftar narasumber perempuan sesuai dengan keahliannya masing-masing,” kata perempuan 51 tahun tersebut. (Sub)