Home / Opini

Minggu, 9 Februari 2025 - 21:36 WIB

Merespons Situasi Terkini Ibu Kota Nusantara dari Perspektif Kelas Sosial

Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro/Ist

Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro/Ist

Penulis : Richard Fernandez Labiro
Dosen Ilmu Administrasi Publik FISIP Untad

Akhir-akhir ini, ramai dibicarakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dikhawatirkan tertunda karena anggaran diblokir.

Hal itu mengundang perhatian banyak pihakm bahkan di talkshow TV Nasional para ahli saling lempar argument persoalan IKN belakangan ini.

Bagi pihak pro dan kontra IKN, isu anggaran dan tidak jelasnya investor menimbulkan pesimisme bagi para pihak, walaupun masih ada optimisme bagi fanatik Jokowi cum Prabowo-Gibran.

Salah satu yang menarik perhatian saya ialah komentar pihak dengan latar belakang akademisi di talkshow TV paling beken di Indonesia tentang alasan dasar dan persoalan pemindahan ibu kota.

Kata kunci dari obrolan tersebut ialah pemerataan pembangunan, sebuah konsep antitesa dari Jawa Sentris.

Singkatnya untuk meninggalkan pembangunan “fisik” yang selama ini terpusat di Jakarta (Jawa Sentris atau Jakarta sentris) diperlukan pembangunan Indonesia Sentris.

Pernyataan itu secara verbatim mirip perspektif Pak Jokowi sewaktu menjabat jadi Presiden beberapa waktu yang lalu.

Baca juga  Sengketa Mahasiswa Fakultas Teknik vs Kehutanan: Kegagalan Serius dalam Keamanan dan Kepercayaan di Untad

Saat itu, alasan dasar pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur ialah Pemerataan Pembangunan yang Indonesia Sentris.

Bagi saya, alasan Jawa Sentris maupun Indonesia Sentris sangat miskin analisis dan perlu dikoreksi kesalahan pikir dari para cendekiawan “pengasuh arguman penguasa”.

Alasan sentris-sentris itu, buah pikiran dari hegemoni kelas kapital. Negara maupun alat politiknya berusaha mempertahankan kekuasaan dengan dalil pembangunan tidak merata.

Menurut saya, menggunakan narasi “Jawa sentris” atau “Jakarta sentris” seolah-olah masalah utama dalam pembangunan nasional adalah ketimpangan antar wilayah.

Padahal, dalam analisis kelas sosial, ketimpangan bukan sekadar masalah geografis, tetapi terutama masalah distribusi kekayaan yang dikendalikan kapitalis dan negara.

Dengan menekankan alasan “Jawa sentris,” negara dan para cendekiawan membelokkan perhatian publik dari eksploitasi kapitalistik ke isu identitas wilayah.

Ini adalah taktik klasik yang disebut sebagai “false consciousness”—di mana rakyat didorong untuk melihat masalah dalam kerangka identitas geografis, bukan dalam kerangka persoalan kelas sosial.

Baca juga  100 Hari Anwar-Reny: Empat Catatan Kritis JATAM Sulteng

Pemindahan ibu kota tidak mengubah struktur ekonomi-politik yang eksploitatif. Sebaliknya, ibu kota baru menjadi pusat administrasi baru bagi kelas penguasa, sementara hubungan timpang secara sosial tetap dikendalikan kapital besar yang masih berasal dari oligarki lama.

Salah satu contoh yang paling nyata didepan mata, bagaimana batu, kerikil, dan pasir di wilayah Palu-Donggala ditambang demi pembangunan IKN, rakyat dipaksa gembira menyambut itu walaupun banjir dan longsor dirasakan penduduk Loli di Donggala dan Buluri serta Watusampu di Kota Palu serta ISPA yang naik setiap tahunnya.

Kembali ke persoalan IKN baru-baru ini. Pembangunan IKN merupakan bagian dari ekspansi kapital, terutama sektor properti, infrastruktur, dan industri pendukungnya (semen, baja, tenaga kerja murah). Jika anggaran diblokir, berarti ada hambatan dalam proses tersebut.

Share :

Baca Juga

Advokat Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Rukly Chayadi/Ist

Opini

Ribut-ribut Tambang Ilegal PT AKM: Ketidaktegasan Polri Malah Menambah Masalah
Tampak depan tampilan aplikasi situs OMC (Sumber: hariansulteng.com)

Opini

OMC dan Rentenir: Pemerintah Gagap
Advokat Chayadi Kantor Hukum Tepi Barat and Associates, Ruklu Chayadi/Ist

Opini

Kontroversi Pernyataan Kapolda Sulteng: Perlukah Kategori ‘Persetubuhan’ Menggantikan ‘Perkosaan’ dalam Kasus RO?
Azman Asgar/Ist

Opini

Kebersihan, Pijakan Dasar Kota Jasa
Stevi Rasinta dari Perempuan Mahardhika Palu (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Opini

100 Hari Anwar-Reny: Di Mana Program BERANI untuk Perempuan dan Pekerja?
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Badko HMI Sulteng, Moh Ridho P Hasan/Ist

Opini

Islam, Indonesia dan HMI: Resolusi Konflik dan Arah Kebijakan Negara Kunci Perdamaian Dunia
Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako, Muhammad Sabri Syahrir/Ist

Opini

Refleksi Hari K3 Internasional
Alfandy Ahmad Eyato/Ist

Opini

Dari Pekarangan ke Perlawanan: Menolak ‘Kabupaten Sawit’ di Tojo Una-Una