Nabi menempatkan masjid sebagai ‘sekretariat’ pemberdayaan umat. Tempat untuk mengekspresikan seni-religius, sebagaimana Rasullulah pernah menyaksikan kelompok seniman dari Habasyah untuk menampilkan kreasi nasyidnya di masjid. Tidak heran kalau masjid nabi digambarkan sebagai pusat peradaban dan pemberdayaan umat islam.
Dari pada memusingkan urusan bunyi pengeras suara masjid, lebih baik mas menteri melakukan pembinaan umat melalui rumah ibadah, tidak mesti hanya melalui masjid.
Rumah ibadah lain seperti gereja, vihara, kuil, candi yang juga merupakan wadah efektif dalam pembinaan umat masing-masing. Sehingga rumah ibadah diharapkan dapat membentuk umat yang damai dan toleran terhadap pemeluk agama lain.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah masjid, termaksud musala, langgar, dan surai mencapai kurang lebih 800.000 bangunan di seluruh Indonesia.
Bayangkan kalau setiap masjid dibuatkan serambi yang dapat digunakan untuk melayani kebutuhan sosial ekonomi umat. Bayangkan kalau masjid yang sebanyak itu dapat dikelola secara profesional dengan segala potensi para jemaahnya.
Para jemaah masjid itu bervariasi, ada pemilik modal, ada pengangguran, mahasiswa dan sarjana, anak-anak dan ada orangtua. Kalau semuanya di sinergikan maka masjid berpotensi luar biasa untuk menyelesaikan problem sosisal dan ekonomi umat. Pada akhirnya yang terjadi adalah, bukan lagi masyarakat yang memberdayakan masjid, tetapi masjid yang memberdayakan masyarakat.
Namun sangat disayangkan Menteri Agama tidak mampu menjalankan hal tersebut. Olehnya, Badko HMI Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas minim gagasan dan sesat menyesatkan dari awal kepemimpinan beliau. Selalu saja menuai kontroversi di kalangan umat sampai dengan hari ini. Maka dari itu tegas kami sampaikan lebih baik mundur dari jabatan daripada tidak mampu mengurusi umat.