HARIANSULTENG.COM, PALU — Indonesia memberi pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Tertuangkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ada juga Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Namun, masyarakat hukum adat yang diakui oleh pemerintah Indonesia baru sekitar 10% atau 219 dari 1.336 peta wilayah adat yang tercatat. Masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah ada sekitar 72, tapi baru 11 yang tersertifikasi atau sudah diakui pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Itu juga karena pemda dari beberapa kabupaten yang telah menginisiasi perda tersebut, seperti Sigi, Morowali, Tojo Una-una, dan Banggai Kepulauan.
Artinya Pemprov Sulteng masih tertinggal dalam hal inisiatif menerbitkan perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMH). Padahal dalam hal lain tentang masyarakat adat, Sulteng justru jadi provinsi pertama di Indonesia yang menjadikan hutan adat sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP). Implementasinya termaktub dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulteng 2023—2042.
Oleh karena itu, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) Sulteng mendorong DPRD Sulteng untuk membahas rancangan peraturan daerah PPMH di tingkat provinsi.
Inisiator KARAMHA Sulteng adalah AMAN Sulteng, Badan Registrasi Wilayah Adat Sulteng, BANTAYA, HUMA Sulteng, Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sulteng, Yayasan Merah Putih, Yayasan Peduli Pendidikan dan Lingkungan Sulteng, dan WALHI Sulteng.

Konferensi pers KARAMHA Sulteng, Kamis, 6 Juni 2025 (Sumber: Mawan/hariansulteng.com)
Proses Pembahasan Ranperda PPMHA
Upaya KARAMHA mendorong Ranperda PPMHA di Sulawesi Tengah dimulai sejak 16 Desember 2021. Audiensi bersama Ketua DPRD Provinsi Sulteng dan Gubernur kala itu sudah dilakukan.
Serangkaian kegiatan lain, mulai dari menggelar dialog bersama pemerintah, perumusan draf naskah akademik versi organisasi masyarakat sipil, diskusi kelompok terpumpun, audiensi khusus dengan OPD pengampu, dalam hal ini Dishub dan Biro Hukum, serta audiensi bersama ketua komisi IV DPRD Sulteng juga dilakukan.
Hanya saja, dialog yang terjadi saat itu justru keluar dari konteks yang diharapkan. Para anggota dewan hanya membahas simbol pernak-pernik perayaan adat, baju adat, dan ritual-ritual. Sejatinya itu semua tidak akan pernah terjadi bila kebutuhan maupun ruang hidup masyarakat adat rusak.
Pasalnya selama ini hukum adat yang berlaku pada suatu wilayah seolah tak berlaku bagi mereka yang datang dari luar untuk mengeksploitasi sumber daya alam di dalam kawasan adat.
“Terbitnya perda ini nanti tentu sangat berdampak baik. Mendorong percepatan pengakuan pemerintah terhadap masyarakat hukum adat, sehingga nantinya bila sewaktu-waktu terjadi konflik lahan, maka masyarakat adat tidak lagi dikriminalisasi. Ada legal standing untuk melakukan gugatan sebagai masyarakat adat yang diamanatkan untuk melindungi wilayah,” kata Amran Tambaru, koordinator KARAMHA sekaligus Direktur Yayasan Merah Putih, saat konferensi pers, Kamis (5/6/2025).

Ilustrasi kawasan hutan yang pengelolaannya dilakukan masyarakat adat (Sumber: huma.or.id)
Penilaian Keliru Terkait Masyarakat Adat
Selama ini masih banyak orang menganggap masyarakat hukum adat tertinggal dan statis. Nyatanya komunitas masyarakat hukum adat justru cenderung dinamis, mengikuti perubahan zaman, termasuk pada pola produksi, konsumsi, bahkan termasuk aturan adat.
Bila dulu sanksi bagi pembunuh adalah hukuman mati, kini berubah dalam bentuk denda lain. Bukti bahwa masyarakat hukum adat tidak diam di tempat.
Ada juga yang mengidentifikasi masyarakat hukum adat melalui pakaian adat, ritual perkawinan, seni tradisi atau peninggalan budaya. Faktanya, perkembangan kebudayaan itu berbeda antara satu sama lain. Simbol -simbol adat merupakan pelengkap, bukan jadi indikator utama dalam mengidentifikasi masyarakat hukum adat.
Pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat hukum adat sering dianggap mitos atau sisa-sisa masa lalu yang tidak lagi relevan saat ini. Faktanya justru masyarakat adat yang lebih sukses mengolah sumber daya dan menjaga wilayahnya dari potensi bencana ekologis.
Sedangkan praktik-praktik pengelolaan kekayaan alam yang selama ini dikontrol oleh negara, dikaji oleh akademisi, dan dioperasikan oleh korporasi malah berdampak negatif terhadap perubahan bentang alam yang menyebabkan kerusakan ekologis.
“Ketika wilayah hukum adat terlindungi dan diakui, otomatis secara ekologis dan hak asasi manusia juga akan ikut terlindungi,” ujar Sunardi Katili, Ketua WALHI Sulteng.
(Mawan)