Kita telah melihat jejak kehancuran akibat perkebunan sawit: hutan gundul, sungai mati, komunitas adat yang tercerabut dari tanahnya akibat Hak Guna Usaha (HGU) yang terbit di atas lahan masyarakat. Kenapa kita ingin mengulang itu di Tojo Una-Una? Apakah kita buta atau tutup mata terhadap sejarah?
Dalam forum resmi “Lokakarya Penyusunan Peta Jalan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria Sulawesi Tengah” pada 17 April 2025, Gubernur Anwar Hafid sendiri mengakui bahwa konflik agraria di Sulawesi Tengah terus meningkat—terutama sejak daerah ini terbuka luas sebagai wilayah investasi.
Ini adalah pengakuan yang penting sekaligus ironi yang nyata: bagaimana mungkin di satu sisi ia mengakui meningkatnya konflik akibat investasi, namun di sisi lain justru mengusulkan perluasan komoditas ekstraktif seperti sawit di daerah yang masih memiliki ketahanan ekologis seperti Tojo Una-Una?
Apa yang sedang kita saksikan adalah kontradiksi dalam logika pembangunan: pemerintah mengetahui risikonya, namun tetap melaju tanpa rambu-rambu.
Jika investasi selama ini terbukti memicu konflik agraria, maka wacana menjadikan Tojo Una-Una sebagai “Kabupaten Sawit” bukan solusi, melainkan memperluas potensi konflik di masa depan. Tojo Una-Una adalah wilayah yang sangat kaya secara ekologis.
Kita punya laut yang indah, perikanan tangkap yang produktif, hutan tropis yang masih utuh, dan potensi wisata yang luar biasa. Kenapa kita tidak memperkuat ekowisata, perikanan berkelanjutan, pertanian organik, atau kehutanan rakyat? Kenapa kita tidak mendorong kedaulatan pangan lokal yang berbasis pada keragaman tanaman dan pangan endemik?
Bagi saya model pembangunan berbasis sawit menyederhanakan kompleksitas ekonomi lokal menjadi jalur tunggal yang rapuh dan eksploitatif. Saya menolak Tojo Una-Una dijadikan lahan eksperimen investasi ekstraktif.
Saya menolak gagasan bahwa kemakmuran hanya bisa datang dari komoditas global yang menyamar jadi “kerja ibu rumah tangga”, dan saya menolak narasi kemiskinan yang dipakai untuk membenarkan pembabatan hutan dan penghilangan kedaulatan rakyat atas tanahnya sendiri.
Penting saya tegaskan di sini: saya tidak membenci pembangunan. Saya juga tidak menolak investasi. Tapi saya percaya, pembangunan yang benar adalah pembangunan yang mendengarkan rakyat, menghormati alam, dan memastikan perempuan—tidak hanya disebut, tetapi dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Investasi yang benar bukan yang datang membawa alat berat dan skema penguasaan lahan, tapi yang datang dengan itikad baik, transparansi, dan menghormati hak-hak dasar komunitas lokal.
Kita tidak bisa lagi mengulang model pembangunan lama yang mengorbankan hutan, air, dan tanah demi pertumbuhan ekonomi yang semu. Jika investasi berarti menambah luka ekologis dan sosial, maka kita wajib menolaknya.
Jika pembangunan berarti menghilangkan daya hidup perempuan dan komunitas adat, maka kita perlu menyebutnya bukan sebagai pembangunan, tetapi perampasan.
Sebagai anak daerah saya mengajak seluruh masyarakat Tojo Una-Una untuk mempertanyakan secara kritis wacana “Kabupaten Sawit” ini. Jangan sampai atas nama slogan “BERANI Makmur”, justru kita kehilangan hutan, tanah, dan masa depan anak cucu kita.