Stepanus sepakat bahwa AI dapat menjadi alat pengawas bahkan sensor terhadap informasi-informasi yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.
AI atau kecerdasan buatan juga bisa digunakan untuk memproduksi konten-konten menjurus pada misinformasi dan disinformasi.
Untuk itu dia memberikan solusi bahwa perlu regulasi yang kuat terkait penggunaan AI juga pedoman etika penggunaannya.
Jurnalis maupun media juga harus transparan dan melebeli konten beritanya jika menggunakan bantuan AI.
“Media kecil juga perlu mendapat perlindungan dari platform digital untuk mencegah algoritma yang hanya mengarah kepada media-media besar,” tandas dosen Ilmu Komunikasi Untad ini.
Sementara itu, Sekretaris AJI Kota Palu, Aldrim Thalara menyampaikan, kegiatan diskusi ini juga didukung AJI Indonesia dan digelar serentak di 30-an AJI kota se-Indonesia dengan tema yang hampir sama.
Tema tersebut diangkat karena kecerdasan buatan kini menjadi salah satu ancaman terhadap kebebasan pers, selain serangan fisik.
“Kenapa kami pilih tema ini? Karena akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya datang dari serangan fisik, tapi juga dari artificial intelligence atau kecerdasan buatan,” katanya.
Menurutnya, AI dapat menjadi ancaman bila digunakan secara tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak berkepentingan, seperti untuk memanipulasi informasi atau membentuk kontraopini yang menyesatkan publik.
Ia juga menyoroti bahwa isu ini menjadi perhatian serius UNESCO di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi global.
Diskusi tersebut dirancang sebagai sarana edukasi bagi jurnalis, mahasiswa, dan masyarakat umum agar mampu membedakan antara penggunaan AI yang membantu kerja jurnalistik dengan yang dimanfaatkan untuk manipulasi data dan penyebaran disinformasi.
“Kalau tidak diberikan pemahaman, mereka bisa saja kesulitan membedakan mana informasi yang murni dan mana yang telah dimanipulasi menggunakan AI,” ucap Aldrim.
(Red)