HARIANSULTENG.COM, PALU – Gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan sekitarnya pada 2018 masih menyisakan kisah pilu hingga saat ini.
4 tahun usai peristiwa kelam itu, sebagian korban selamat masih mendiami shelter-shelter pengungsian atau hunian sementara (huntara).
Huntara-huntara ini tersebar di sejumlah titik seperti di Jalan Buvu Kulu, Kelurahan Kabonena, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Selain kondisi bangunan fisik huntara yang tampak memprihatinkan, para penyintas juga kini harus membayar sewa Rp 150 per bulan.
Hindun, seorang penyintas di Kabonena menerangkan bahwa pembayaran sewa ini mulai diberlakukan seiring pergantian kepemimpinan usai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
“Ini kan dikontrak wali kota selama dua tahun dan masyarakat berharap bisa diperpanjang. Tapi ketika beliau diganti langsung dikenakan sewa Rp 150 per bulan. Jadi ini dibilang bukan huntara lagi, tapi kos,” katanya, Selasa (6/12/2022).
Huntara Kabonena saat ini masih dihuni sekitar 80 – 90 kepala keluarga (KK) dan mayoritas tidak memiliki sertifikat kepemilikan rumah.
Sebab kebanyakan penyintas sebelumnya hanya kontrak dan tinggal di kos-kosan saat bencana gempa dan tsunami 2018.
Sementara, sertifikat rumah termasuk syarat utama untuk mendapatkan hunian tetap (huntap) dari pemerintah.
Hindun mengatakan, mereka sebelumnya biasa mendapatkan bantuan sembako dari dinas sosial setempat.
Namun beberapa waktu terakhir tak ada lagi pemberian bantuan kepada para penyintas baik dalam bentuk sembako maupun lainnya.
Sebaliknya, mereka kini merasa semakin terbebani karena harus membayar sewa tiap bulan jika tak ingin angkat kaki dari huntara.
“Terakhir bantuan itu beberapa tahun lalu dari dinas sosial, tapi sampai sekarang sudah tidak ada. Malahan huntara sudah dikontrak. Kasihan ada yang baru dapat uang nanti 2 atau 3 bulan. Telat bayar sebulan sudah disuruh keluar,” imbuh Hindun.
Pembayaran sewa Rp 150 bulan ini juga dikenakan terhadap penyintas di Huntara Jalan Asam III, Kota Palu.
Suniati (47), selama 4 tahun ini terpaksa bertahan di huntara lantaran tak lagi memiliki tempat untuk berlindung.
Di bilik huntara seluas sekitar 3 x 4,5 meter miliknya, Suniati membuka kios kecil-kecilan untuk meraup pendapatan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ibu lima anak itu berharap pemerintah turut memerhatikan penyintas yang tak memiliki sertifikat rumah dengan memberikan hunian lebih layak.
“Huntara sekarang harus sewa. Sebagian penyintas yang punya sertifikat sudah pindah ke huntap. Yang tinggal di sini tidak punya sertifikat karena sebelum gempa hanya kontrak,” ujar Suniati. (Sub)