HARIANSULTENG.COM, MOROWALI – Yayasan Tanah Merdeka (YTM) merespons penghargaan PROPER Biru yang diraih PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
PROPER menjadi bentuk apresiasi pemerintah kepada perusahaan yang dianggap telah menunjukkan ketaatan terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup.
Direktur YTM, Richard Labiro mempertanyakan dasar penilaian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atas pemberian PROPER Biru kepada PT IMIP.
Menurutnya, penghargaan ini justru mengaburkan berbagai kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri PT IMIP di Kabupaten Morowali.
“Penghargaan PROPER itu telah ‘membutakan’ mata publik atas serangkaian pelanggaran lingkungan hakiki PT IMIP. Terlebih lagi 20 perusahaan tenant yang menerima penghargaan itu punya catatan buruk terhadap eksploitasi lingkungan,” ungkap Richard, Minggu (04/05/2025).
Richard menuturkan, pada 2024, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – sebelum KLH – menegur beberapa tenant IMIP karena tidak mengintegrasikan CEMS ke dalam SISPEK untuk mengontrol pencemaran udara atau emisi.
Perusahaan itu di antaranya PT Bukit Smelter Indonesia, PT Cahaya Smelter Indonesia, PT Hengjaya Nickel Indonesia, PT GCNS, PT ITSS, PT Lestari Smelter Indonesia, PT Ranger Nickel Industry, PT Tshingshan Steel Indonesia, PT Ocean Sky Metal Industry, PT Walshin Nickel Industrial Indonesia, dan PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy.
“Jika PT IMIP dan pasukannya dihargai Proper Biru, artinya mereka taat terhadap semua regulasi minimum terkait standar emisi, limbah B3, dan lain-lain. Itu bertolak-belakang kerusakan lingkungan di 2023, 2024 sampai 2025,” jelasnya.
Sementara, ujar Richard, banjir terjadi di kompleks PT IMIP diduga akibat aktivitas tambang di hulu pada April 2023.
Menjelang akhir 2024, banjir kembali lagi di Bahodopi dan kawasan PT IMIP setelah hujan deras mengguyur wilayah tersebut.
“Bahodopi dan sekitarnya kehilangan daya tampung dan dukung,” ucap Richard.
Pada 2024, Desa Dampala juga terkena banjir. Perisitiwa cukup heboh terjadi pada Maret 2025 berupa banjir disertai longsor.
Bencana pertama menimpa Desa Labota dan kawasan IMIP pada 16 Maret 2025 lalu. Bencana ini berdampak terhadap 341 KK atau 1.092 jiwa.
Selanjutnya, longsor juga terjadi di fasilitas penyimpanan tailing area PT QMB New Energy Materials pada 22 Maret 2025 yang menewaskan tiga pekerja.
Richard menambahkan, manajemen pengelolaan limbah PT IMIP juga perlu disoroti selain bencana banjir yang kerap terjadi.
Asap polutan PLTU captive IMIP dan limbah tailing mengancam warga beserta para pekerja yang tinggal di sekitar kawasan industri.
“Terlebih lagi, pasca longsor tailing, belum ada pemeriksaan tindak lanjut terkait pencemaran air dan tanah setelah jebolnya penampungan tailing PT IMIP itu,” tuturnya.
Ia meminta Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah (DLH Sulteng) mengecek kelayakan dan kualitas air.
Richard menyoroti penilaian KLHK dari perencanaan hingga pelaksanaan dalam pemberian PROPER kepada perusahaan-perusahaan.