HARIANSULTENG.COM, PALU – Aktivitas tambang galian C di Kelurahan Watusampu dan Buluri, Kota Palu kembali mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Kampainer Walhi Sulteng, Wandi menyebut aktivitas tambang di dua kelurahan itu telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang menjadi penderitaan warga.
“Sumber mata air terancam industri ekstraktif berupa tambang pasir dan batuan dengan puluhan perusahaan mengelilingi pemukiman warga,” kata Wandi dalam keterangannya, Senin (1/7/2024).
Ia menjelaskan, eksploitasi sumber daya alam secara masif di Watusampu-Buluri diduga berdampak terhadap polusi udara.
Debu tambang akibat aktivitas ekstraksi yang menyelimuti pemukiman, setiap hari dirasakan oleh warga mulai dari tidur hingga bangun lagi. Debu menyebabkan penyakit gangguan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Sebanyak 2.422 orang dari data Puskesmas Anuntodea Tipo tahun 2023 terdiri dari Kelurahan Tipo 915, Buluri 813 dan Watusampu 694,” ungkap Wandi.
Saat ini, ujar dia, warga Buluri dan Watusampu makin terancam karena mata air berada dalam konsesi pertambangan.
“Sumber mata air yang tersisa atas kepungan industri kini juga terancam, WALHI Sulteng menemukan ada tiga titik mata air di Kelurahan Buluri satu titik air bertempat Valoli yang melintas dibawah mesin crusher yang masih di konsumsi oleh warga sekitar 30 kepala keluarga,” terangnya.
Menurutnya, mata air Uwentumbu dan Taipa Baki berjarak sekitar 300 meter dari area pertambangan. Parahnya di sekitar mata air terdapat debu tebal yang menempel di dedaunan pohon.
Sebagai sumber air utama ini digunakan oleh 1.308 kepala keluarga untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, minum, dan lain-lain.
Sungai Nggolo di Kelurahan Buluri sebelum ada aktivitas pertambangan masih di manfaatkan oleh warga untuk mencuci, mandi kemudian menjadi wilayah kelola penambang tradisional.
“Sumber mata air yang tersisa di Kelurahan Buluri dimanfaatkan warga untuk keberlangsungan hidup setiap hari. Kini warga khawatir sumber mata air terakhir akan hilang,” ucap Wandi.
“Anehnya, Pemerintah Sulawesi Tengah mengabaikan dan melakukan pembiaran atas eksploitasi tanpa ada tindakan tegas terhadap pelaku perusak lingkungan,” imbuhnya menambahkan.
Wandi menilai pemerintah justru terkesan memberikan ‘karpet merah’ kepada pelaku dengan menerbitkan putusan penanganan debu pada kegiatan pertambangan.
Salah satunya adalah pelaku usaha wajib melakukan penyiraman minimal dua kali sehari sesuai arahan dokumen lingkungan/termasuk jalan houling.
“Sementara di Kelurahan Watusampu dalam temuan Koalisi Petisi Palu-Donggala sumber air yang dikonsumsi warga berada dalam kawasan pertambangan. Ditambah lagi pal batas hutan lindung juga ada dalam area konsesi,” ungkap Wandi.
(Fat)