HARIANSULTENG.COM, PALU – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu merilis catatan akhir tahun di penghunjung 2022, Jumat (30/12/2022).
Sebelum menyampaikan hasil rilisnya, AJI Palu mengawali dengan diskusi bertemakan ‘Wajah Kebebasan Pers Tahun 2022′.
Hadir sebagai pembicara yaitu Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako (Untad), Achmad Herman dan Abdee Mari selaku praktisi media.
Pihak AJI Palu sebenarnya turut mengundang Polda Sulteng namun tak satu pejabat pun bisa menghadiri.
Salah satu topik yang menjadi pembahasan serius dalam diskusi akhir tahun AJI Palu ini yaitu tentang sosok Iptu Umbaran Wibowo.
Nama Iptu Umbaran Wibowo baru-baru ini mengejutkan publik khususnya kalangan wartawan di tanah air.
Pasalnya, sosok Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah tersebut diketahui juga merupakan seorang wartawan TVRI.
Akan tetapi, aksi penyamaran atau identitas Iptu Umbaran sebagai wartawan baru terbongkar setelah kurang lebih 14 tahun menjalani profesi tersebut.
Selaku akademisi, Achmad Herman menganggap kasus Iptu Umbaran bisa berimbas pada kepercayaan publik terhadap profesi jurnalis.
Menurutnya, waktu ’14 tahun’ harus menjadi refleksi untuk melakukan evaluasi bagi perusahaan media terutama dalam proses rekrutmen wartawan.
“14 tahun ini bukan waktu yang sebentar. Apa bahayanya, jelas sangat berbahaya. Saya khawatir dapur redaksi juga telah diketahui. Artinya profesi jurnalis sudah tidak memiliki marwah,” jelas Herman.
Senada dengan Herman, hal serupa juga disampaikan Sekretaris Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng, Abdee Mari.
Bahkan, ia menyebut tindakan institusi penegak hukum yang menyusupkan anggota ke media telah terjadi sejak masa sebelum kemerdekaan.
“Fenomena di Blora sebenarnya bukan hal baru dan mungkin sudah menjadi rahasia umum. Pers kerap dijadikan tempat oleh sejumlah pihak untuk berhubungan langsung dengan pemerintah. Sebab ada tempat-tempat yang bisa diakses media tetapi tidak bagi pihak lain,” ujar Abdee.
Sementara menurut Ketua AJI Palu, Yardin Hasan, praktik tersebut merupakan tindakan memata-matai yang bisa berdampak pada ketidakpercayaan publik terhadap pers Indonesia.
Di tengah berjalannya diskusi, pihaknya menyayangkan ketidakhadiran Polda Sulteng untuk memberikan tanggapan soal lolosnya anggota Polri sebagai wartawan yang tersertifikasi.
Dalam kasus ini, Yardin secara skeptis menyampaikan ketidakpercayaannya atas komitmen Polri untuk menghormati kebebasan pers.
“Fakta ini harusnya membuka mata bahwa kita tidak bisa percaya lagi dengan jaminan kebebasan pers yang selalu digaungkan kepolisian. Dan sayangnya kepolisian tidak hadir dalam forum ini untuk menjelaskan dan menjamin tidak ada penyusupan serupa di media-media di Palu,” ujarnya.
Hingga berita ini ditayangkan, HarianSulteng.com masih berupaya melakukan konfirmasi terkait alasan ketidakhadiran Polda Sulteng. (Jmr)