Lebih dari setahun sudah kasus dugaan pemalsuan dokumen surat Dirjen Minerba Nomor 1489/30/DBM/2013 yang ditangani Polda Sulteng terpendam.
Surat ini ditujukan kepada Anwar Hafid saat masih menjabat bupati Morowali, yang menjadi dasar dirinya menyetujui penyesuaian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi kepada PT Bintang Delapan Wahana (BDW).
Berbekal surat Dirjen Minerba dan SK Anwar Hafid, konsesi PT BDW yang awalnya berada di Konawe, Sulawesi Tenggara, berpindah ke Morowali, Sulawesi Tengah.
Kebijakan Anwar Hafid yang tertuang dalam SK Nomor: 540.3/SK.001/DESDM/I/2014 ini justru berujung pada persoalan hukum serius.
Lokasi baru PT BDW ternyata tumpang tindih dengan IUP PT Artha Bumi Mining (ABM). Pihak ABM kemudian melayangkan laporan ke Polda Sulteng setelah mengetahui adanya dugaan pemalsuan surat Dirjen Minerba yang diteken 3 Oktober 2013.
Pada 13 Mei 2024, hasil penyidikan Polda Sulteng berbuah pada penetapan tersangka inisial FMI alias F berdasarkan Surat Dirreskrimum Nomor B/256/V/RES.1.9./2024.
FMI dijerat Pasal 263 ayat (1) KUHP karena diduga terlibat dalam pembuatan atau pemalsuan surat Dirjen Minerba. Namun, sejak saat itu tersangka tak kunjung diadili di hadapan hakim.
Sorotan pun muncul dari Yayasan Masyarakat Madani Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah (YAMMI Sulteng). Mereka mendesak kepolisian profesional menangani dugaan pemalsuan dokumen oleh PT BDW.
“Kasus ini dilaporkan PT Artha Bumi Mining pada 13 Juli 2023. Polda Sulteng jangan main-main. Hukum seharusnya menjerat para pelaku kejahatan hingga ke pengadilan,” kata Direktur Kampanye YAMMI Sulteng, Africhal, Jumat (4/7/2025).
Selain IUP pelapor, Africhal menambahkan, konsesi PT BDW juga tumpang tindih dengan empat perusahaan lain, seperti PT Daya Inti Mineral dan PT Daya Sumber Mining Indonesia.
YAMMI Sulteng menegaskan bahwa dugaan pemalsuan dokumen oleh PT BDW adalah kejahatan sehingga terbit surat keputusan oleh Pemkab Morowali di bawah kepemimpinan Anwar Hafid.
Africhal lantas menyinggung kinerja Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho. Selama dua tahun tiga bulan menjabat, belum ada perkara pidana yang melibatkan perusahaan tambang yang diproses sampai ke pengadilan.
“Ini mengindikasikan Polda Sulteng tidak profesional dalam mengusut kasus-kasus pertambangan, baik pemalsuan dokumen maupun illegal mining,” pungkas Africhal.

Africhal Direktur Kampanye YAMMI Sulteng (Sumber: Istimewa)
Kabidhumas Polda Sulteng, Kombes Djoko Wienartono, menjelaskan bahwa proses penyidikan sudah masuk tahap satu pada akhir Juni 2025 lalu.
“Petunjuk JPU sudah dilengkapi dan berkas perkara telah dikirim kembali,” kata Djoko, Sabtu (5/6/2025).
Sementara itu, Anwar Hafid—yang kini menjabat gubernur Sulteng—tak banyak memberi komentar mengenai dugaan penggunaan dokumen palsu di balik penyesuaian IUP Operasi Produksi PT BDW.
“Kasusnya sedang ditangani polda dan pemalsunya sudah tersangka. Saya tidak tahu menahu,” kata Anwar melalui pesan tertulis.
Pihak PT ABM menyatakan sengketa tumpang tindih muncul karena kesalahan Anwar Hafid selaku bupati kala itu. Sebab, IUP Operasi Produksi PT BDW dicabut ulang melalui SK Bupati Morowali Nomor 188.4.45.KEP.0243/DESDM/2014.
Namun, setahun berselang gubernur membatalkan pencabutan IUP Operasi Produksi PT BDW. SK Gubernur Sulteng Nomor 540/723/DESDM-GST/2015 praktis membuat IUP PT BDW hidup kembali.
Kerancuan dalam tata kelola sektor pertambangan di Morowali ini dinilai karena penerbitan izin “ugal-ugalan” di masa lalu oleh pemerintah daerah.
Sejak dimekarkan tahun 1999 hingga 2017, menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat ratusan izin tambang di Morowali yang dikeluarkan di masa kepemimpinan dua bupati.
Periode Datlin Tamalagi termasuk yang tersubur. Ia mengeluarkan 120 IUP untuk kurang lebih 70 perusahaan. Jumlah ini kemudian naik menjadi 183 IUP di era Anwar Hafid.
Sengketa antara PT BDW dan ABM hanya contoh kasus dari banyaknya izin tambang yang tumpang tindih selama dua periode kepemimpinan Anwar Hafid sejak 2007 hingga 2018.
Pada 2008, Anwar Hafid pernah digugat ke PTUN oleh Rio Tinto, perusahaan pertambangan global yang bermarkas di Inggris dan Australia.
Lagi-lagi masalahnya karena tumpang tindih. Rio Tinto Indonesia (RTI) geram usai Pemkab Morowali menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP) baru di atas areal Kontrak Karya (KK) milik mereka di Bumi Tepe Asa Maroso.
Pihak RTI menemukan 14 KP baru yang diberikan kepada perusahaan tambang lokal yang tergabung dalam grup PT Bintang Delapan Mineral.
Areal kontrak karya PT Inco juga digerumuti. Ada puluhan IUP yang diterbitkan Pemkab Morowali tumpang tindih dengan raksasa nikel tersebut.
PT Inco kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Wilayah konsesi Vale memiliki luas 118.017 hektare, meliputi Sulsel (70.566 ha), Sulteng (22.699 ha), dan Sultra (24.752 ha).
Jatam Sulteng mendapati ada 43 IUP di atas lahan kontrak karya milik Vale di Morowali. Temuan ini membuktikan kerancuan kebijakan antara Pemkab Morowali di era Anwar Hafid dengan pemerintah pusat.
Dalam keterangan resminya tahun 2017, Jatam Sulteng mendesak kepolisian untuk memeriksa Anwar Hafid atas terbitnya IUP yang tidak prosedural dan tumpang tindih atau dikategorikan pertambangan ilegal.
Dalam beberapa kesempatan, Anwar Hafid menyampaikan telah mencabut ratusan IUP bermasalah, termasuk di atas lahan kontrak karya PT Vale Indonesia.
Politisi 55 tahun dari Partai Demokrat itu tidak mengetahui pasti jumlah IUP bermasalah yang tersisa hingga jabatannya selesai.
“Sudah saya cabut semua ratusan IUP, termasuk yang di atas Vale. Yang di atas Vale sudah tidak ada,” ungkap Anwar, melansir KabarSelebes.co.id (13/5).
CV Tridaya Jaya menjadi salah satu perusahaan yang IUP-nya berada di wilayah Vale. Proses penerbitan izin oleh Anwar Hafid pernah disorot Yayasan Tanah Merdeka (YTM) pada 2012.
YTM menyebut tumpang tindih lahan ini menyalahi UU Minerba sehingga memungkinkan Anwar Hafid diadili di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Arbitrase Internasional.
Di tahun yang sama, puluhan aktivis tergabung dalam Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gerak) berunjuk rasa di depan Mako Polda Sulteng dan Kejaksaan Tinggi Sulteng.
Massa aksi mendesak dua lembaga penegak hukum itu memeriksa Anwar Hafid karena diduga telah menerbitkan IUP di atas wilayah cagar alam di Desa Ganda-Ganda.
(Fandy)