Pombegaya fokus pada isu HIV/AIDS serta kampanye untuk menghentikan stigma negatif dan diskriminasi yang terus dialami transpuan.
Berbeda dari Hiwari, Pompegaya memiliki badan hukum alias legal melalui penerbitan akta pendirian oleh notaris.
Sebagian besar transpuan yang terhimpun di Hiwari ikut bergabung di Pompegaya. Mereka kemudian melibatkan diri dalam berbagai aktivitas positif, seperti bermitra dengan pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Sebab, kata Mimi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menganggap transpuan salah satu populasi kunci yang berisiko tinggi terjangkit virus tersebut.
“Waria di Palu dulunya belum ada wadah, bertebaran begitu saja. Setelah di Pompegaya kami banyak ikut terlibat dalam program-program pemerintah. Salah satunya kami diminta membantu dalam penanggulangan AIDS,” terangnya.
Dikatakan Mimi, kaum transpuan tak jarang semakin terkucilkan karena banyak yang menganggapnya sama dengan gay dalam istilah lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
“Hubungan sesama jenis dipikir pasti waria. Ada namanya lelaki seks lelaki lainnya (LSL). Jadi sesama lelaki nge-seks, tetapi bukan dalam bentuk waria. Ini yang masyarakat tidak tahu,” ujar Mimi.
Melalui komunitas yang ia dirikan, Mimi aktif memperjuangkan berbagai kebutuhan dasar transpuan, salah satunya soal kartu identitas.
Ia menyebut ada sekitar 100-an transpuan di Kota Palu yang tersebar di beberapa kecamatan. Semuanya kini telah memiliki e-KTP.
Dengan kepemilikan KTP, transpuan bisa mengakses berbagai layanan publik, termasuk menggunakan hak suara pada Pemilu 2024.
Meski demikian, bukan berarti transpuan bebas dari masalah sepanjang hidupnya. Tantangan besar yang belum terpecahkan adalah soal stigma.
Mimi mengaku mengidamkan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang mau memerhatikan aspirasi transpuan yang selama ini termarginalkan.
Pesta demokrasi tahun ini menjadi harapan baru bagi komunitasnya. Meskipun menurutnya, harapan itu sangat tipis karena selama ini para elite politik tidak memiliki kepedulian khusus pada isu keberagaman.
“Tidak ada. Dengan keterlibatan kami di program (KPA) tadi, beberapa kali diundang kegiatan musrembang, memang itu mulai bagus. Sebelumnya selama ini memang tidak ada ruang untuk menyuarakan apa yang menjadi hak-hak kami juga. Tidak usahlah melihat bahwa kami waria, tetapi apa yang selama ini telah kami lakukan untuk membantu pemerintah dengan terlibat di KPA,” ucap Mimi.
Perjalanan Panjang Pemenuhan Hak Transpuan
Transpuan merupakan bagian dari warga negara Indonesia (WNI). Sebagai warga negara, mereka berhak untuk mendapatkan hak-haknya.
Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulteng menjadi salah satu organisasi yang ikut memperjuangkan agar hak-hak keberadaan kelompok minoritas ini dapat terpenuhi.
“Dalam perspektif HAM, seperangkat hak melekat pada setiap manusia tanpa memandang suku bangsa, ras, jenis kelamin, agama maupun ekspresi gender. Hak-hak ini tidak bisa dicabut. Manusia sudah cukup menjadi dasar, tidak ada lagi embel-embel lainnya. Undang-undang tegas soal itu,” kata Ketua SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju saat ditemui, Jumat (9/2/2024).