HARIANSULTENG.COM, NASIONAL – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam aksi teror terhadap penulis opini media detikcom.
Pada 22 Mei 2024, detikcom menghapus artikel opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” yang semula tayang di rubrik kolom.
Artikel tersebut menyajikan kritikan tajam mengenai penempatan seorang jenderal pada posisi jabatan sipil dan mempertanyakan sistem merit dalam Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tak lama setelah artikel tersebut terbit, penulis dengan inisial YF mengaku menerima intimidasi yang mengganggu keselamatan pribadinya.
Kondisi ini membuat YF meminta detikcom agar segera menghapus artikelnya sebagai langkah perlindungan.
Selain itu, YF juga melaporkan kejadian intimidasi yang dialaminya kepada Dewan Pers, berharap adanya mekanisme perlindungan yang lebih baik bagi mereka yang menyuarakan opini kritis.
Pihak detikcom kemudian menghapus artikel tersebut dari lamannya dengan menyebutkan bahwa penghapusan artikel atas rekomendasi Dewan Pers dan demi menjaga keselamatan penulis.
Kasus ini menegaskan kembali bahwa ancaman pada kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia itu nyata adanya.
“AJI mengecam tindakan teror yang dialami oleh YF. Tindakan ini merupakan bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No 40/1999,” kata Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, Senin (26/05/2025).
Nany menambahkan teror terhadap penulis opini bukan hanya serangan terhadap individu dalam hal berekspresi, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan pers, hak publik atas informasi, dan pilar-pilar demokrasi yang sehat.
“Ini juga dialami narasumber dan penulis opini yang menyuarakan kritik terhadap kekuasaan atau kebijakan publik. Pola ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menciptakan efek gentar (chilling effect), agar masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis,” ujar Nany.
Ia menyebut kasus Ini memperpanjang daftar gelap kasus intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia sejak pemerintahan Presiden Prabowo.
Misalnya, penarikan lagu “Bayar, Bayar, bayar” oleh Band Sukatani, siswa di Kota Bogor yang merekam dan mengkritik porsi MBG namun dipaksa membuat video permintaan maaf, hingga mahasiswa ITB yang ditangkap lantaran membuat meme Jokowi dan Prabowo. Melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), berkali-kali suara kritis ini diancam.
“Ini menunjukkan ruang berekspresi di Indonesia semakin menyempit dan menandakan masalah dalam demokrasi kita,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung mengatakan bahwa teror dan intimidasi yang dialami YF diduga dampak dari opininya yang terbit di detikcom adalah pola-pola represi seperti era Orde Baru dalam membungkam suara-suara kritis masyarakat.
Dirinya menegaskan tindakan tersebut tak bisa dibenarkan, dan menuntut negara harus bertanggung jawab.
“Aparat penegak hukum harus mengusut kasus teror dan intimidasi terhadap YF, penulis opini Detik tersebut,” ujar Erick.