Oleh : Prof Abrar Saleng
Guru Besar Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Universitas Hasanuddin
Polemik mengenai usulan Gubernur Sulawesi Tengah untuk menciutkan sebagian Wilayah Kontrak Karya (WKK) PT Citra Palu Minerals dan menjadikannya Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) telah mencuatkan isu krusial: bagaimana menyeimbangkan kepentingan investasi jangka panjang dengan aspirasi kesejahteraan masyarakat lokal dan semuanya dalam koridor hukum yang berlaku?
Wilayah yang dimohonkan untuk diciutkan oleh gubernur Sulteng adalah wilayah prospektif yang telah memiliki data eksplorasi dan pengeboran, wilayah yang dipastikan telah menghasilkan data sumber daya dan/atau cadangan.
Oleh karena telah ditetapkan bagian dalam Rencana Pengembangan Seluruh Wilayah (RPSW) Kontrak Karya PT CPM.
Pemegang KK wajib membuat rencana pengembangan seluruh wilayah sesuai kaidah teknik pertambangan yang baik.
Artinya, wilayah tersebut bersifat strategis dan tidak dapat diciutkan secara sepihak maupun atas permohonan pihak lain, termasuk gubernur, meskipun gubernur dapat mengusulkan perubahan Wilayah Pertambangan (WP) kepada Menteri sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) PP No. 25 Tahun 2023.
Namun, dalam ketentuan Pasal 16 ayat (4) PP Nomor 25 Tahun 2023 mengatur secara tegas bahwa Perubahan wilayah pertambangan (WP) tidak mengurangi atau menghapus WIUP, WPR dan WIUPK yang terdapat IUP, IPR, IUPK dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dan SIPB yang masih berlaku atau eksisting.
Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa WPR hanya dapat ditetapkan pada wilayah yang tidak berstatus WUP, WIUP, WPN atau WIUPK.
Artinya, secara hukum WKK atau WIUP PT CPM, tidak bisa diciutkan menjadi WPR. Ini adalah ketentuan hukum yang menjadi batasan tegas yang tidak dapat dinegosiasikan.
Dalam rezim Kontrak Karya, penciutan wilayah (relinquishment) adalah kewajiban pemegang KK yang dilakukan berdasarkan evaluasi internal perusahaan.
Penciutan hanya dapat dilakukan apabila: (a) wilayah tersebut tidak prospektif, (b) telah ditentukan dalam tahapan relinquishment sesuai kontrak, dan (c) disetujui oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rekomendasi teknis yang didasarkan pada evaluasi eksplorasi yang dilakukan oleh pemegang KK.
Fakta penting dan faktual bahwa PT CPM telah melakukan penciutan terakhir pada 2017 dan tidak ada dasar hukum untuk penciutan paksa atau penciutan atas permohonan pihak ketiga.
Dengan demikian, permohonan Gubernur untuk penciutan sebagian Wilayah KK PT CPM tidak memiliki dasar hukum.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Minerba, dan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan seluruh wilayah Kontrak Karya–termasuk milik CPM–merupakan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) karena merupakan area yang berorientasi bisnis dan ditetapkan untuk kegiatan usaha pertambangan skala besar.
Sementara WPR hanya dapat ditetapkan di wilayah yang bukan WUP, WPN dan WUPK. WPR diperuntukkan bagi pertambangan rakyat berskala kecil, dan non-profit oriented, dan harus ditetapkan terlebih dahulu melalui peraturan daerah kabupaten/kota tentang Wilayah Pertambangan Rakyat.
Kemudian menyangkut perda tentang Wilayah Pertambangan Rakyat harus sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi tentang RTRW.
Berdasarkan kedua peraturan daerah, gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan kepada Menteri ESDM untuk ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan (WP).
WP dapat berupa WUP, WPN, WPR dan WUPK. Khusus untuk wilayah KK dan PKP2B eksisting ditetapkan sebagai WUP sebagaimana diatur dalam ketentuan PP Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) PP Nomor 25 Tahun 2023 mengatur bahwa “WPR tidak boleh tumpang tindih dengan dengan WUP, WPN dan WUPK.”
Kegiatan Masyarakat di dalam WKK PT CPM Adalah PETI (Ilegal Mining)
Saat ini terdapat aktivitas masyarakat di dalam WKK PT CPM. Secara hukum, kegiatan tersebut merupakan penambangan tanpa izin (PETI) dan melanggar Pasal 158 UU Minerba, yang dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp100 000.000.000.
Apabila permohonan gubernur diakomodir/diterima oleh Menteri ESDM, maka pemerintah secara tidak langsung melegalkan aktivitas PETI yang kemudian menciptakan preseden buruk bagi sektor pertambangan minerba serta melumpuhkan penegakan hukum disektor pertambangan minerba.
Dampaknya adalah secara nyata mencederai asas kepastian hukum dan menunjukkan bahwa Pemerintah secara terang-terangan tidak memberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan investasi di sektor pertambangan.
Risiko Hukum Ketika Menteri ESDM Mengakomodir Rekomendasi Gubernur:
1. PT CPM dapat kehilangan wilayah prospektif yang bernilai ekonomi tinggi.
2. Pemerintah membuka preseden buruk sebab PETI dapat diubah menjadi legal hanya dengan permintaan kepala daerah.
3. Investor akan kehilangan kepercayaan, karena kontrak jangka panjang dapat diubah melalui tekanan sosial.
4. Ketidakpastian hukum meningkat, dan ketiadaan perlindungan hukum kepada investasi berpotensi mengganggu iklim investasi nasional.
Solusi yang Dapat Diakomodasi Secara Legal
Kerja sama bisnis dengan model kemitraan melalui perjanjian kerja sama dengan Pemegang Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP).
Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dan pemegang KK, maka seyogyanya PT CPM dapat menjalin perjanjian kerja aama (PKS) dengan badan usaha pemegang IUJP.
Masyarakat penambang tanpa izin dapat dilibatkan melalui koperasi pertambangan atau unit usaha desa, atau kelompok masyarakat yang bekerja di bawah badan usaha tersebut atau badan usaha lainnya yang terlebih dahulu harus memiliki IUJP.
Boleh juga masyarakat PETI bergabung dengan badan usaha yang sudah menjadi vendor dalam unit bisnis PT CPM.
Pemegang IUJP tersebut yang menjadi wadah bagi masyarakat PETI hanya bertindak sebagai kontraktor pertambangan (mining contractor) dari PT CPM selaku pemegang WUP dalam WKK.
Kerja sama ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 124 dan Pasal 125 UU Minerba juncto Pasal 137 dan Pasal 138 PP Nomor 96 Tahun 2021 junto Pasal 56 Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020.
Pengendalian Tetap pada PT CPM Selaku Pemegang KK/WUP
Dalam skema ini, semua kegiatan pertambangan tetap berada di bawah kendali PT CPM. Pemegang IUJP hanya menjalankan operasi teknis dan dibawah arahan dari Kepala Teknik Tambang (KTT) PT CPM.
Pemegang IUJP tidak dapat menjual hasil tambang dari seluruh produksi dan harus diserahkan kepada PT CPM selaku pemegang KK.
Ketentuan yang demikian dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum terutama hak negara atas bahan galian yang telah diusahakan oleh pemegang KK, juga sebagai kontrol produksi, dan integritas rantai nilai dalam usaha pertambangan yang menjadi tanggung jawab pemegang KK.
Model kemitraan pemegang IUJP dengan pemegang KK memungkinkan masyarakat bekerja secara legal, mendapat pendapatan yang halal. Selain itu mendapatkan pelatihan teknis dan keselamatan kerja dalam usaha pertambangan.
Pola kemitraan ini sekaligus upaya pemberdayaan masyarakat lokal lebih cepat, efektif, dan terhormat karena bukan lagi menjadi penambang tanpa izin (ilegal mining).
Kemudian hal ini sangat lebih efektif karena tidak perlu harus mengubah status wilayah WUP dari KK PT CPM menjadi WPR yang selain bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, juga membutuhkan waktu yang lama dan belum pasti masyarakat lokal yang akan menikmati perubahan status wilayah pertambangan.














