HARIANSULTENG.COM – Sosiolog Universitas Tadulako (Untad), Ritha Safitri turut menyoroti dugaan asusila 11 pria terhadap anak di bawah umur usia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).
Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho belum lama ini menyebut kasus ini merupakan persetubuhan, bukan pemerkosaan karena tidak ada unsur paksaan.
Apapun istilahnya, Ritha mengatakan bahwa kejadian yang dialami korban sebagai anak di bawah umur merupakan kekerasan seksual.
Lagipula, Kepala Prodi Sosiologi FISIP Untad itu menegaskan tidak ada istilah suka sama suka dalam hubungan anak-anak dan pria dewasa.
“Persetubuhan atau pencabulan terhadap anak itu merupakan kekerasan seksual. Anak belum bisa menentukan persetujuan dalam aktivitas seksual, jadi tidak ada istilah suka sama suka,” ujar Ritha saat dihubungi, Sabtu (3/6/2023).
Ia menyebut ketimpangan relasi kuasa kerap menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Terlebih seperti diketahui, 3 dari 11 terduga pelaku persetebuhan remaja di Parimo melibatkan oknum kepala desa, guru hingga anggota brimob Polri.
Jika pemerkosaan terdapat unsur paksaan, Ritha menyebut anak di bawah umur bisa saja ‘dipaksa’ lewat rayuan oleh pelaku.
“Dari faktor relasi kuasa ini, anak menjadi rentan menjadi korban tindakan seksual. Secara sosial, kedudukan anak di bawah umur itu mudah diperdaya. Jika dikatakan pemerkosaan pasti ada paksaan, sementara anak-anak ini bisa dirayu saja atau ditakut-takuti, itu kan pemaksaan. Anak-anak cenderung diam, belum bisa memilih dan mengambil keputusan,” jelasnya.
Polda Sulteng saat ini telah menahan 7 dari 10 tersangka. Adapun 3 tersangka lagi masih buron, yaitu AW, AS dan AK.
Sementara itu, oknum anggota brimob MKS terduga pelaku lainnya hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka karena minimnya alat bukti.
Para terduga pelaku melakukan aksinya di waktu dan lokasi berbeda-beda di Parimo sejak April 2022 hingga Januari 2023.
Kasus ini pun baru mencuat ketika orangtua korban membuat laporan ke Polres Parimo pada 25 Januari 2023 lalu.
Dikatakan Ritha, dalam kacamata sosiologi kasus kekerasan seksual tersebut bisa dilihat melalui pendekatan fenomenologi.
Pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami berbagai gejala atau fenomena dari realitas sosial yang tampak dalam masyarakat.
“Mengenai kekerasan seksual di Parimo, jadi fokusnya kepada usia anaknya. Anak di bawah umur rentan terhadap bujuk rayu karena relasi kuasa tadi. Apalagi informasinya terduga pelaku ada oknum kepala desa. Orang dewasa harus menjadi pelindung bagi anak, bukan menjadi pelaku kejahatan seksual,” tutur Ritha.
Dari kejadian tersebut, ia menilai para orangtua perlu mengajarkan pendidikan seksual sejak dini kepada anak-anaknya.
Hal yang dapat dilakukan seperti memberitahu anaknya terutama perempuan untuk melarang orang lain menyentuh bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.
Di sisi lain, menurut Ritha, akar penyebab terjadinya kekerasan seksual dapat ditelusuri pada budaya patriarki yang kental di masyarakat.
“Candaan bernuansa seksual dalam pergaulan dianggap biasa, padahal harusnya tidak boleh. Kesadaran hukum pada masyarakat perlu dibangun. Perempuan juga harus membentengi diri, harus berani melapor jika mengalami tindakan kekerasan seksual,” kata Ritha. (Bal)