Morowali menjadi penyumbang kehilangan hutan terbesar di Sulawesi Tengah. Dari 8.356,7 hektare hutan yang hilang sepanjang 2024, Morowali mengalami deforestasi mencapai 2.073,4 hektare.
Menurut analisis Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), deforestasi ini terkait langsung dengan aktivitas pertambangan selain akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Riset KOMIU mengungkapkan hingga tahun 2022, 5.500,9 hektare hutan di Morowali berubah menjadi lubang-lubang tambang.
Operasi penambangan dan pembangunan smelter pun kian tumbuh subur seiring kebijakan hilirisasi yang digaungkan sejak pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Tercatat, pemerintah telah menerbitkan 53 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Morowali dengan total luas 118.139 hektare. Konsesi-konsesi nikel ini menyapu bersih sebagian besar hutan.
Auriga Nusantara juga punya catatan laju deforestasi di Morowali. Kabupaten hasil pemekaran Poso tersebut telah kehilangan 16.871 hektare hutan alam dalam satu dekade terakhir.
Puncak deforestasi terlihat pada 2016 seluas 2.884 hektare. Ini terjadi setahun setelah Jokowi meresmikan smelter pertama di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Sejak saat itu, angka deforestasi di Morowali konsisten menyentuh angka lebih dari seribu hektare setiap tahun dalam rentang 2017-2024.
Kehadiran PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Bungku Barat juga menjadi simbol kesuksesan pemerintahan Jokowi dalam menarik investasi ke sektor hilir nikel.
Kawasan ini diproyeksikan akan berdiri di atas lahan seluas 20.000 hektare dengan nilai investasi mencapai Rp200 triliun. Artinya, ia bakal lima kali lebih luas dari PT IMIP di Bahodopi.
Dan mengingat komitmen Prabowo untuk melanjutkan program hilirisasi yang dimulai di era Jokowi, kemungkinan investasi masih akan mengalir deras masuk ke Morowali.
Akhir April 2025 lalu, Komisi II DPR RI menggelar pertemuan bersama Kemendagri dan sejumlah kepala daerah. Dalam forum tersebut, Gubernur Sulteng Anwar Hafid melempar pernyataan keras dalam rapat.
Selain menyoal kecilnya porsi dana bagi hasil (DBH), Anwar menyinggung kondisi alam daerahnya yang hancur-hancuran akibat tambang.
Anwar memperkirakan cadangan nikel di Morowali tersisa 10 tahun lagi. Bila komoditas primadona ini habis, ia khawatir daerah itu ditinggalkan begitu saja menjadi kota hantu.
Masalahnya adalah aktivitas tambang tak hanya memusnahkan hutan, tetapi juga memicu degradasi lahan dan mengubah lanskap secara keseluruhan.
Tanah yang tercemar logam beracun menjadi salah satu alasan akademis mengapa pemulihan hutan hampir mustahil di lahan bekas tambang.
“Kalau berharap pulih secara alami sulit, bahkan bisa dipastikan tidak mungkin terjadi. Sedangkan yang direvegetasi saja tingkat keberhasilannya bervariasi,” ujar Prof. Golar, guru besar Fakultas Kehutanan di Universitas Tadulako, Jumat (18/7/2025).
Belum lagi, kata dia, top soil atau lapisan tanah atas yang tergerus akibat pengerukan dan penggalian. Lapisan ini kaya akan nutrisi dan memiliki peran penting bagi pertumbuhan tanaman.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Untad Prof. Golar (Sumber: Istimewa)
Program rehabilitasi dan reklamasi mungkin terdengar sebagai solusi. Namun, Golar meyakini upaya ini tetap tidak mampu memulihkan ekosistem dan kondisi hutan seperti semula.
“Katakanlah tanaman bisa tumbuh. Namun kemampuan dalam menekan terjadinya erosi, longsor, dan sebagainya belum tentu sama dengan kondisi awal. Inilah masalah yang ada di lokasi eks tambang,” terangnya.
Meski sukar mengembalikan hutan ke kondisi awalnya, kegiatan reklamasi paling tidak dapat membantu memulihkan fungsi hutan.
Golar memandang PT Bukit Asam Tbk di Sumatera Selatan merupakan contoh kasus yang berhasil memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak. Keberhasilannya dalam mengembalikan vegetasi di lahan bekas tambang batubara tercatat dalam banyak literatur.
Pada 2019, Bukit Asam meraih penghargaan sebagai stakeholder keberhasilan reklamasi dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penghargaan ini diberikan karena Bukit Asam sukses melakukan reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS seluas 453 hektare dengan total 58.552 pohon. Total luas area rehabilitasi DAS sendiri mencapai 3.660 hektare.
PT Vale Indonesia Tbk juga menunjukkan komitmen serupa. Di Blok Sorowako, Vale mengubah Himalaya Hill yang dulunya daerah tambang menjadi hutan lebat.
Sepanjang 2024, entitas yang semula bernama INCO ini mereklamasi 178,9 hektare lahan bekas tambang dan merehabilitasi DAS seluas 14.470 hektare.
Dari upaya ini, sebanyak 139.151 jenis pohon telah ditanam di lahan yang dulunya adalah lokasi tambang, termasuk 67.903 pohon endemik.
“Selain Bukit Asam, contoh keberhasilan lain dalam konteks riset ada di Sorowako. Ini pun melalui tahapan yang sangat lama dan dilakukan secara serius. Jadi dilakukan treatment bertahap, pengamatan, evaluasi, dan teknik-teknik revegetasi,” jelas Golar.
Berkaca dari angka deforestasi dan estimasi usia nikel oleh gubernur, Golar menilai nasib lingkungan di Morowali berada di ujung tanduk.
Bagaimanapun, aktivitas membongkar dan mengeruk mengganggu kesuburan tanah sehingga lahan tersebut tidak bisa lagi dimanfaatkan sebagaimana mestinya sebelum ada aktivitas tambang.
Satu sisi, pemulihan lahan atas kegiatan pertambangan yang ditinggalkan membutuhkan dana yang besar serta perlu intervensi berbagai pihak.
Golar menyatakan pihaknya telah mendorong percepatan pemulihan lahan bekas tambang melalui ragam riset. Misalnya dengan pemilihan tanaman fast growing yang cocok untuk reklamasi.
Fast growing yang bersifat cepat tumbuh diasumsikan mampu mengembalikan nutrisi tanah yang hilang. Dengan begitu, tanaman yang dulunya pernah ada akan mudah tumbuh.
“Hanya saja kendala yang sering ditemukan adalah pemenuhan stok. Karena tidak semua jenis tanaman bisa beradaptasi dengan kondisi lahan yang ekstrem,” imbuhnya.
Hal lain yang ditekankan Golar adalah dari segi penetapan harga hedonik (hedonic pricing). Metode ini biasa dipakai untuk mengestimasi nilai ekonomi dari atribut lingkungan.
“Kalau kondisi sekarang, saya melihat ada nilai lingkungan yang tidak bisa kembali lagi ke hutan akibat eksploitasi. Biaya-biaya ini yang mestinya juga masuk dalam penghitungan DBH. Nilainya nanti bisa digunakan untuk perbaikan lingkungan selain peruntukannya bagi pembangunan daerah,” kata Golar.
(Fandy)