Institusi Polri per 1 Juli 2025 kemarin genap berusia 79 tahun. Di Sulawesi Tengah, perayaan utama HUT Bhayangkara berlangsung di Kantor Gubernur, Jalan Sam Ratulangi, Palu.
Koordinator Perempuan Mahardhika Palu, Stevi Rasinta, memberi catatan kritis khususnya tentang sejumlah kasus kekerasan seksual di Sulteng.
Menurut Stevi, tindakan yang merendahkan harkat martabat perempuan masih menjadi persoalan serius. Pun terhadap proses penanganannya oleh Polri.
Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan terobosan hukum yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penanganan serta berpihak kepada korban.
Sayangnya, bagi Perempuan Mahardhika, semangat undang-undang ini masih jauh dari implementasi. Sering kali polisi meminta bukti pendukung yang memberatkan. Alhasil malah menghambat akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
“Suara korban adalah bukti utama, dengan berucap itu bukti. Penanganan kasus kekerasan seksual oleh kepolisian masih sangat tidak berpihak. Korban diberatkan dengan tuntutan bukti-bukti pendukung saat melapor,” ujar Stevi, Rabu (2/6/2025).
Sepanjang 2025, telah terjadi 154 kasus kekerasan seksual di Sulteng yang terekam dalam data real time Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Stevi menekankan pentingnya menempatkan korban sebagai pusat pemulihan dan perlindungan. Jika tidak, polisi hanya terus berkutat pada masalah pembuktian.
Sulitnya mendapat akses keadilan hukum ini juga menjadi penyebab korban memilih enggan melapor. Akhirnya korban merasa apa yang dialaminya adalah takdir.
Menurut Stevi, jika keterangan korban menjadi titik pusat pencarian kebenaran, maka tidak ada lagi alasan aparat kepolisian merasa kesulitan dalam mengungkap perkara kekerasan seksual.
“Praktik ini justru membuat korban mengalami kejahatan berulang. Pertama oleh pelaku, kedua karena sistem. UU TPKS tegas mengakui bahwa keterangan korban merupakan bukti sah,” tuturnya.
Stevi mengaku bahwa keberanian korban masih jadi tantangan utama pengungkapan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Namun satu sisi, ketika para korban berani bersuara, langkah mereka dalam mencari keadilan terbentur “tembok tebal” prosedur pelaporan di kepolisian.
Dalam suasana HUT Bhayangkara, Perempuan Mahardhika mendorong pelatihan dan sosialisasi substansi UU TPKS kepada seluruh anggota kepolisian di Sulteng, terutama yang bertugas di unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
“Supaya polisi menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitivitas dan penuh empati tanpa menyalahi prosedur hukum. Suara korban harus jadi prioritas utama. Jangan persulit korban dengan tuntutan bukti yang tidak relevan dan memberatkan,” ungkapnya.
Momen hari jadi Bhayangkara juga cukup krusial bagi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu untuk mengungkapkan sejumlah catatannya kepada institusi yang dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
AJI Palu mencatat kasus kekerasan jurnalis yang melibatkan anggota kepolisian masih tinggi. Sayangnya tindakan kekerasan ini tidak diselesaikan dengan serius oleh Polri.
Oktober 2020 silam, tiga jurnalis mendapat penganiayaan oknum polisi saat meliput aksi menolak Omnibus Law di Kantor DPRD Sulteng. Satu korban merupakan jurnalis perempuan bernama Alsih Marselina. Ia terkena pukulan di bagian wajah.
Meski organisasi jurnalis memandang polisi telah menunjukkan sikap tidak profesional dalam menangani aksi unjuk rasa, kasus ini hanya berakhir dengan permohonan maaf tanpa ada pelaku yang dibawa ke meja hijau.
“Sudah seharusnya kami menilai kepolisian di daerah ini harus membina seluruh anggotanya. Jangan hanya tataran atas yang mengetahui kerja-kerja jurnalis, tetapi juga kepada mereka yang masih dalam pendidikan calon anggota Polri,” ujar Ketua AJI Palu Agung Sumandjaya.
Agung mengatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik semata. Segala tindakan yang menghambat kerja-kerja jurnalistik merupakan bagian dari itu.
Pada awal 2023, jurnalis perempuan dari hariansulteng.com mendapat intimidasi lantaran memberitakan tempat prostitusi yang diduga dibekingi oknum polisi.
Setelah berita itu tayang, ia mendapat telepon dari seorang anggota Humas Polresta Palu. Oknum ini mengancam akan memproses hukum sang jurnalis.
Kombes Barliansyah, Kapolresta Palu saat itu, menyampaikan permohonan maaf usai sejumlah perwakilan organisasi jurnalis mendatangi kantornya. Kasus ini pun selesai secara damai.
Menyeberang ke tahun 2024, serangan terhadap kerja-kerja jurnalistik di Sulteng terus berlanjut. Seorang pejabat utama Polda Sulteng berpangkat kombes dianggap telah melecehkan profesi jurnalis.
Kejadian tak menyenangkan ini dialami Kepala Biro SCTV Palu, Syamsuddin Tobone, saat ingin mewawancarai Dirlantas Polda Sulteng, Kombes Dodi Darjanto, 17 Juli 2024.
Dodi menolak permintaan wawancara Syamsuddin karena hanya menggunakan handphone. Ia juga melontarkan perkataan yang menghina alat kerja Syamsuddin.
Berjarak dua bulan dari peristiwa itu, Polda Sulteng melayangkan surat pemanggilan kepada redaksi Media Alkhairaat (MAL). Pihak MAL dipanggil sebagai saksi usai memberitakan dugaan pencemaran nama baik Amran Batalipu selaku mantan Bupati Buol.
Dari rentetan kasus ini, AJI Palu meminta Polda Sulteng gencar menyosialisasikan tugas dan peran jurnalis kepada seluruh anggotanya.
Agung mengingatkan kepolisian tidak memakai cara-cara premanisme atau menjurus pada kriminalisasi dalam merespons seluk beluk pekerjaan jurnalis yang dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Jurnalis itu bekerja dilindungi konstitusi, maka Polri juga perlu menjamin itu dan bukan sebaliknya. Jika kekerasan terjadi lagi, kami meminta pelaku tak hanya diganjar sanksi disiplin, tapi juga diproses secara pidana sesuai pasal 18 UU Pers,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Rolis Muchlis selaku Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulteng.

Kiri ke kanan | Ketua AJI Palu Agung Sumandjaya, Koordinator Perempuan Mahardhika Stevi Rasinta, dan Ketua IJTI Sulteng Rolis Muchlis. (Sumber: Istimewa)
Jurnalis Kompas TV ini berpendapat, penting bagi Polri memaknai HUT Bhayangkara sebagai momen untuk merefleksikan nilai-nilai pengabdian, dedikasi dan profesionalisme.
“Kasus kekerasan terhadap jurnalis sebagai refleksi dan dorongan bagi Polri untuk memperkuat komitmen pada profesionalisme dan penghormatan terhadap kebebasan pers. Polisi semestinya jadi pelindung, bukan malah jadi pelaku kekerasan terhadap kerja-kerja jurnalistik,” ucap Rolis.
(Fandy)