PT Bumi Alpha Mandiri (BAM) menjadi satu dari dua perusahaan tambang yang dihentikan operasionalnya secara permanen oleh Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid. Keputusan ini diumumkan langsung oleh gubernur di hadapan massa aksi di Kantor Camat Ulujadi, Palu, Selasa (10/6/2025). Riuh sorak-sorai langsung terdengar menyambut kabar tersebut.
Sikap tegas Anwar Hafid mendapat pujian luas, baik dari peserta aksi maupun warganet. Video aksinya saat menemui massa yang diunggah ke akun Instagram @anwarhafid14 ditonton lebih dari 3 juta kali dan mendapat 90 ribu likes.
Pengumuman ini muncul delapan hari setelah demonstrasi warga Kelurahan Tipo (Palu) dan Desa Kalora (Sigi) yang menolak aktivitas tambang di wilayah mereka. Dalam waktu singkat, Anwar Hafid mengirim surat kepada Dinas ESDM dan Dinas PMPTSP untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BAM dan PT Tambang Watu Kalora (TWM).
Persetujuan prinsip pencabutan ini merupakan kali pertama yang dilakukan rezim Anwar Hafid. Sebuah kebijakan yang kemudian ditentang pihak perusahaan.

Sejumlah alat berat terparkir di area PT BAM, Minggu, 29 Juni 2025 (Sumber: Fandy/hariansulteng.com)
Belum Beroperasi Sudah Dihentikan
Direktur PT BAM, Aditya Arief Ghiffary, awalnya enggan berkomentar. Tapi saat ditemui kembali pada 24 Juni 2025, ia bersedia buka suara dalam sebuah wawancara santai di Foodie Cafe, Palu.
Ia mengawali cerita dari awal pendirian usaha mereka di Desa Kalora, di atas lahan seluas 95,54 hektare. BAM mengantongi IUP Operasi Produksi sejak April 2024 untuk komoditas batu gunung. Namun, Aditya menegaskan, hingga saat ini perusahaan belum memulai aktivitas tambang.
Sebelum BAM berdiri, Aditya dan rekanannya terlebih dulu membangun pabrik kelor bernama PT Kelor Organik Indonesia (KOI) di area seluas 16 hektare. Digadang-gadang sebagai pabrik kelor terbesar di Asia Tenggara, proyek ini gagal karena kerja sama dengan Pemkot Palu kandas. Mereka kemudian beralih mengembangkan peternakan rusa dan kebun durian.
Namun, kendala muncul. Struktur tanah yang didominasi batu menyulitkan pertanian. Maka, izin galian C pun diurus untuk membuka lahan. BAM, kata Aditya, mencoba mengintegrasikan pertambangan, perkebunan, dan peternakan dalam satu kawasan.
Meski belum beroperasi, perusahaan justru mendapat penolakan warga, terutama setelah membangun pelabuhan kecil (jetty) di wilayah pesisir Tipo.
Aditya mengklaim telah mengantongi izin untuk itu dan membebaskan lahan secara legal dari warga.
“Tiba-tiba izin dicabut. Kami bahkan belum pernah diajak bicara oleh Pak Gubernur,” kata Aditya dengan nada kecewa.

Durian jadi salah satu tanaman yang dibudidayakan PT BAM (Sumber: Fandy/hariansulteng.com)
Tak Diberi Ruang Menjelaskan
Bagi Aditya, langkah sepihak Anwar Hafid sangat melukai perasaan mereka sebagai pengusaha. IUP yang merupakan salah satu komponen utama dalam kepastian hukum di sektor pertambangan tak ada “kesuciannya” di mata sang kepala daerah.
Ia merasa perusahaan telah mengikuti prosedur, termasuk soal izin dan kemungkinan kerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok dalam rangka mencari teknologi ramah lingkungan.
“Mungkin sudah lebih Rp150 miliar nilai investasi yang dikeluarkan. Rekening dan NPWP unit bisnis kami semua di sini. Yang kami sayangkan pemimpin yang diberi amanah mestinya tabayun dulu, lah, sama kita. Tapi itu tak pernah dilakukan,” ucapnya.
Dalam sebuah rapat internal, manajemen PT BAM sempat terpikir untuk memindahkan aset mereka ke luar daerah dan tidak akan lagi menanamkan modalnya di Sulawesi Tengah.
Aditya menyatakan perusahaan tak mempermasalahkan aksi demonstrasi masyarakat. Hanya saja, pihaknya terpaksa melaporkan sejumlah warga ke Polda Sulteng karena bertindak berlebihan.
Warga yang dipolisikan ini dianggap menyebar fitnah kerena menuding aktivitas PT BAM yang belum beroperasi telah memicu bencana banjir.
Klaim belum beroperasinya PT BAM ada benarnya, berdasarkan pengamatan kami di kawasan perusahaan, Minggu (29/6).
Sore itu langit muram. Gerimis masih turun. Kantor PT BAM tampak lengang. Pintu gerbang dari besi tertutup meski tidak rapat. Celahnya cukup untuk motor kami berjalan masuk.
Kami menghampiri dua pria berpakaian kasual di sebuah pos pengamanan, memperkenalkan diri, dan menjelaskan keperluan. Dari pos itu, mata kami memandang ke arah bangunan bekas kantor sekaligus pabrik PT KOI yang terlihat begitu luas.
Setelah mendapat izin masuk dari petugas di pos jaga, kami menyusuri area PT BAM di kaki gunung Kalora. Menerobos jalanan yang basah.
Laju kendaraan kami terhenti ketika melihat ada empat ekskavator terparkir di tengah belukar. Entah kapan terakhir mesin alat berat itu dinyalakan. Yang pasti kondisinya tampak terbengkalai.
Motor kami kembali melaju dengan tenang. Dan terus menapaki jalan yang makin menanjak, hingga memasuki area perkebunan. Ada kelor hingga durian. Tanaman-tanaman ini berdampingan dengan penangkaran sapi dan rusa.
Semua kebun dan penangkaran hewan ini masuk dalam konsesi yang dikelola PT BAM. Sejauh mata memandang, belum terlihat ada bukaan lahan tanda bekas tambang.

Penangkaran sapi dan rusa yang berdampingan dengan perkebunan di kawasan PT BAM (Sumber: Fandy/hariansulteng.com)
Gugatan Hukum dan Tuduhan Maladministrasi
PT BAM melalui kuasa hukumnya, Natsir Said, menyatakan bakal menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika pencabutan IUP benar-benar dilakukan.
Menurut Natsir, pencabutan izin seharusnya didahului sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, atau penghentian sementara. Jika langsung mencabut, maka dinilai melanggar prosedur.
Ia juga menyinggung potensi maladministrasi oleh pemerintah daerah. “Ini bisa jadi preseden buruk bagi dunia usaha. Apalagi kalau hanya satu-dua perusahaan saja yang dicabut izinnya,” tegasnya.
Surat gubernur yang diteken pada 18 Juni 2025 menyebut dua alasan pencabutan. Alasan pertama merujuk hasil kajian dampak lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng.
Hingga artikel ini terbit, hariansulteng.com belum mengetahui hasil kajian yang dimaksudkan. Kami telah mengonfirmasi tiga pejabat DLH Sulteng, termasuk Sekretaris DLH Sulteng Wahid Irawan dan Andi Rahmadani selaku Kepala Bidang Tata Lingkungan.
Namun, mereka memberi jawaban seragam. Hanya meminta kami agar menghubungi pejabat DLH Sulteng yang lain.
Alasan lain Anwar Hafid dalam suratnya adalah pertimbangan teknis Dinas ESDM. Kabid Minerba Dinas ESDM Sulteng, Sultan, menyebut penolakan masyarakat menjadi pertimbangan utama mereka.
Saat dihubungi, Kamis (26/6), Sultan mengatakan bahwa tindak lanjut pencabutan IUP sedang diproses dan menjadi kewenangan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
“Saat ini (pencabutan IUP) sedang berproses di DPMPTSP. Kewenangan itu ada di DPMPTSP sebagai penyelenggara perizinan dan pemegang akses OSS (Online Single Submission),” ujar Sultan.
Dihubungi terpisah, pihak Dinas PMPTSP justru masih menunggu pertimbangan teknis dari Dinas ESDM dalam proses pencabutan IUP PT BAM dan PT TWM.
“Kami menunggu pertimbangan Dinas ESDM Provinsi Sulteng,” ucap Kepala Dinas PMPTSP, Moh Rifani melalui pesan tertulis, Senin (30/6).

Spanduk penolakan terpampang di dekat jetty PT BAM di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Palu (Sumber: Fandy/hariansulteng.com)
Dasar Pencabutan IUP Tak Bisa Karena Demonstrasi
Mekanisme pemberian sanksi administratif bagi pemegang IUP diatur dalam pasal 151 UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dam Batubara (Minerba).
Sanksi administratif diberikan berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, serta pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk penjualan.
Pencabutan izin merupakan sanksi terakhir yang diberikan jika pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban serta ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan tindak pidana, atau dinyatakan pailit.
Pemberian sanksi ini dilakukan oleh menteri. Namun, Perpres Nomor 55 Tahun 2022 memungkinkan pemerintah daerah (gubernur) menerbitkan IUP untuk komoditas mineral bukan logam dan batuan.
Dengan pendelegasian ini, maka pemberian sanksi termasuk pencabutan IUP juga berada di tangan gubernur.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, menyebut pencabutan atas dasar demonstrasi tidak cukup kuat secara hukum.
“Kalau atas dasar demo izinnya dicabut tidak bisa. IUP bisa dicabut jika (perusahaan) membuat kesalahan yang besar, seperti melanggar UU. Ini pun harus dengan surat peringatan terlebih dahulu,” ungkap Bisman kepada hariansulteng.com, Sabtu (28/6).
Bisman menuturkan, perusahaan yang tidak puas atas keputusan pencabutan IUP bisa mengajukan keberatan administratif kepada dinas terkait. Bila upaya ini ditolak, selanjutnya bisa dengan melakukan banding administratif kepada gubernur.
Jika pencabutan IUP tanpa alasan pelanggaran yang jelas serta tidak disertai surat peringatan, perusahaan dapat melapor ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi.
“Pencabutan IUP yang tidak sesuai prosedur berarti telah terjadi maladministrasi. Saran saya minimal ke Ombudsman. Kalau mau serius, baru langkah terakhir dengan menggugat ke PTUN. Proses di Ombudsman dan PTUN tidak bisa bersamaan,” terangnya.
Bisman menyebut sah-sah saja pemerintah mencabut IUP. Akan tetapi, perubahan kebijakan yang tak terduga merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang merusak iklim investasi.
Satu sisi, dirinya meyakini pasti ada permasalahan yang menyertai di balik aksi unjuk rasa warga yang menolak perusahaan tambang.
“Dasar pencabutannya apa dan prosesnya benar atau tidak. Yang paling dibutuhkan pelaku bisnis adalah kepastian hukum. Masyarakat demo karena pasti ada masalah. Masalah ini perlu didudukkan bersama,” ucapnya.

Suasana diskusi dan nobar film dokumenter Menjaga Kamalisi di Balai Pertemuan Adat (Bantaya) Desa Kalora, 30 Januari 2025 (Sumber: aman.or.id)
Kemenangan yang Masih Terganjal Laporan Polisi
Di sisi lain, keputusan Anwar Hafid dianggap sebagai kemenangan besar oleh warga Tipo dan Kalora. Mereka sudah sejak lama khawatir tambang akan merusak ruang hidup dan kawasan Gunung Kinovaro. Gunung yang terletak di Pegunungan Kamalisi itu menjadi paru-paru wilayah Palu dan Sigi.
Ketua Aliansi Pemuda dan Lingkungan Tipo, Faizal, menegaskan bahwa gerakan mereka adalah bentuk perlindungan terhadap alam dan warisan adat.
“Hari ini kami meneteskan air mata. Kami tidak pernah anarkis, tidak pernah melawan pemerintah. Kami ikuti semua jalur, tapi yang kami temukan hanya kekecewaan. Hari ini luka kami yang sudah delapan bulan terobati dengan hadirnya Bapak Gubernur,” ucap Faizal saat aksi di Kantor Camat Ulujadi (10/6).
Namun, konsekuensi dari kemenangan ini sungguh telak. Sebanyak 15 warga dari masyarakat adat Kalora dilaporkan oleh pihak perusahaan. Hal ini disesalkan banyak pihak, termasuk Oskar Tikabaja dari AMAN Kamalisi yang menjadi kuasa hukum warga.
“Kami apresiasi Pak Gubernur, tapi kami juga minta keberanian beliau untuk memastikan 15 warga ini mendapat keadilan,” kata Oskar.
Ia menambahkan, Anwar Hafid juga perlu meninjau kembali izin-izin tambang yang beroperasi di Sulteng guna memastikan tak ada pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan yang terus berlanjut.

Peta konsesi PT BAM dan PT TWM (Sumber: geoportal.esdm.go.id)
Puluhan IUP Tambang Masih Aktif di Pesisir Palu—Donggala
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng mencatat hingga 2024, terdapat 73 IUP pasir dan batuan di sepanjang pesisir Palu hingga Donggala.
Puluhan izin ini terbagi dalam tiga status, yaitu 1 IUP Eksplorasi (48 hektare), 33 IUP Operasi Produksi (682 hektare), dan 39 WIUP berstatus pencadangan (1.056 hektare).
Koordinator Jatam Sulteng, Moh. Taufik, mengatakan penutupan dua perusahaan tambang ini perlu diapresiasi. Namun, menurut Taufik, kebijakan populis Anwar Hafid belum menyentuh akar masalah dari masifnya pertambangan galian C.
Dalam kacamata Jatam Sulteng, keputusan Anwar Hafid menimbulkan kesan tebang pilih karena hanya mencabut IUP perusahaan yang belum beroperasi.
Pihaknya mendorong Pemprov Sulteng untuk mengevaluasi seluruh operasi pertambangan galian C jika benar-benar berpihak kepada rakyat dan serius dalam menjaga dampak kerusakan lingkungan.
“Banyak dampak yang ditimbulkan yang diduga akibat aktivitas tambang di pesisir Palu—Donggala. Mulai dari banjir hingga banyaknya warga yang menderita ISPA,” ungkap Taufik.
Data dari Puskesmas Tipo Anuntodea tahun 2023 menunjukkan sebanyak 2.422 warga menderita ISPA. Tambang dianggap sebagai salah satu penyebab pencemaran udara di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, Jatam mendorong Pemprov Sulteng melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang, termasuk ancaman aktivitas tambang batu gamping di Banggai Kepulauan.
Hingga Juni 2025, Jatam Sulteng mencatat rencana penambangan batuan gamping telah diberikan kepada 45 perusahaan. Sebanyak 43 di antaranya merupakan pencadangan WIUP seluas 4.398 hektare.
Taufik mengingatkan, jangan sampai kebijakan ini hanya untuk pencitraan. “Apakah gubernur berani mengevaluasi izin tambang di sepanjang pesisir Palu—Donggala? Pun terhadap rencana tambang batuan gamping yang berpotensi merusak wilayah Banggai Kepulauan. Kami baru percaya pencabutan IUP dua perusahaan bukan untuk mengangkat popularitas ketika gubernur mengevaluasi seluruh perizinan,” pungkas Taufik.
(Fandy dan Mawan)