HARIANSULTENG.COM – Langkah Pemprov Sulteng menangkal berita soal laju deforestasi melalui pelabelan “gangguan informasi” oleh Satgas Berani Saber Hoaks (BSH) menuai kritik dari organisasi jurnalis.
Pernyataan sepihak yang diumumkan secara terbuka tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman ekspresi dan ancaman nyata terhadap kebebasan pers.
Menanggapi kegaduhan tersebut, Plt Kadis Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Diskominfosantik), Wahyu Agus Pratama akhirnya buka suara.
“Kami menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang terjadi. Kami akan berupaya menjaga sinergitas dengan pers,” ujarnya saat ditemui, Senin (29/12/2025).
Wahyu menjelaskan Satgas BSH dibentuk sekitar bulan Oktober 2025 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulteng.
Pembentukan Satgas BSH awalnya untuk menangkal hoaks maupun melakukan edukasi dan literasi digital. Namun, pelabelan terhadap produk jurnalistik dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Atas kejadian ini, Wahyu berjanji bakal mengevaluasi total keberadaan Satgas BSH serta berkoordinasi dengan Gubernur Sulteng, Anwar Hafid.
“Satgas BSH bukan berkapasitas sebagai jubir resmi pemeritah provinsi atau gubernur. Sikap yang dikeluarkan mestinya harus melalui kajian Diskominfosantik sebelum disampaikan ke publik. Kami akan segera melakukan evaluasi,” tutur Wahyu.
Diberitakan sebelumnya, organisasi jurnalis menyoroti tindakan Satgas BSH melampaui kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu menyatakan pemerintah tidak memiliki otoritas menghakimi produk jurnalistik. Kewenangan itu sepenuh berada di tangan Dewan Pers.
“Pelabelan sepihak tanpa pengujian oleh Dewan Pers merupakan pembajakan kewenangan dan pelecehan terhadap profesi jurnalis,” ungkap Ketua AJI Palu, Agung Sumandjaya.
Sorotan serupa datang dari sejumlah komunitas jurnalis dan organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sulteng.
KKJ Sulteng mengeluarkan pernyataan sikap atas ulah Satgas BSH bentukan Pemprov Sulteng, di antaranya:
1. Kemerdekaan pers bukan objek pengawasan satuan tugas apa pun. Tidak ada lembaga di luar Dewan Pers yang berwenang menilai, menghakimi, atau mengancam pemberitaan media.
2. Karya jurnalistik tidak dapat dipidanakan. Setiap sengketa pemberitaan wajib diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Pers, yakni hak jawab, hak koreksi, dan penilaian Dewan Pers.
3. Pelabelan karya jurnalistik sebagai “gangguan informasi”, malinformasi, atau istilah serupa tanpa penilaian Dewan Pers merupakan bentuk delegitimasi pers dan bertentangan dengan prinsip negara demokratis.
4. Pencantuman ancaman rekomendasi penggunaan Undang-Undang ITE terhadap pemberitaan media merupakan bentuk intimidasi terselubung, serta bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan Nota Kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers.
5. Menolak segala bentuk kontra-narasi yang bertujuan menekan, mengarahkan, atau mengendalikan isi pemberitaan media. Klarifikasi dapat dilakukan, namun tidak boleh disertai ancaman hukum atau narasi yang menyudutkan media.
6. Kritik masyarakat yang dimuat media massa merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi pers sebagai pilar demokrasi. Kepala daerah dan pejabat publik tidak boleh antikritik, serta wajib merespons pemberitaan secara dewasa, transparan, dan akuntabel, bukan dengan sikap defensif apalagi represif.
7. Keterlibatan Satgas BSH, sebagai lembaga bentukan Gubernur Sulawesi Tengah, dalam melakukan klarifikasi terbuka terhadap produk jurnalistik merupakan tindakan keliru, berlebihan, dan tumpang tindih kewenangan. Klarifikasi atas pemberitaan bukan tugas satuan tugas, melainkan kewenangan pribadi pejabat yang bersangkutan atau juru bicara resmi yang ditunjuk.
8. Penyebaran narasi klarifikasi melalui media sosial yang menyudutkan media tertentu merupakan praktik delegitimasi pers dan berpotensi menggiring opini publik untuk tidak mempercayai kerja jurnalistik. Tindakan ini berbahaya karena dapat memicu sentimen kebencian serta membuka ruang intimidasi terhadap jurnalis.
9. KKJ Sulawesi Tengah menilai Satgas BSH berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik dan dijadikan tameng politik penguasa.
(Red)














