HARIANSULTENG.COM, PALU – Momen haru sempat mewarnai pembukaan Haul Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua ke-54 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (11/5/2022) malam.
Momen itu terjadi saat Ketua Komisariat Wilayah (Komwil) Alkhairaat Sulawesi Tengah (Sulteng), Habib Alwi Aljufri menceritakan perjalanan hidup Guru Tua di hadapan seluruh tamu undangan.
Habib Alwi mengawali cerita dengan membacakan silsilah Guru Tua yang mempunyai jalur keturunan dari Husein binti Fatimah Azzahra, putri Nabi Muhammad SAW.
Lahir di Hadramaut pada 15 Maret 1892, Guru Tua merupakan anak kedua dari pasangan Habib Salim bin Alwi bin Saggaf Aljufri dan Syarifah Nur binti Muhammad Aljufri.
Ibu Guru Tua merupakan putri dari seorang raja di Sengkang, Sulawesi Selatan yang bergelar Arung Matoa Wajo.
Sementara ayahnya menjabat sebagai seorang Mufti di Hadramaut, sebuah wilayah luas di Yaman.
Habib Alwi menceritakan, Guru Tua sejak kecil sudah tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan langsung sang ayah.
Selain belajar dari ayahnya, Guru Tua juga mempelajari ilmu Alquran, hadis, tafsir, fikih, sastra Arab maupun lainnya dari sejumlah ulama besar di Hadramaut.
“Beliau (Guru Tua) sangat tekun belajar dan mengkaji ulang pelajarannya di kamar khusus di masjid dekat dari rumahnya. Ini ia lakukan setiap hari hingga pukul tiga pagi, tidak pernah pulang kerumah melainkan ada keperluan mendesak,” ungkap Habib Alwi.
Kecerdasan dan kecintaan Guru Tua terhadap ilmu agama lambat laun membuatnya disegani di lingkungan masyarakat.
Pada tahun 1915, Habib Salim bin Alwi bin Saggaf Aljufri meninggal dunia saat usia Guru Tua menginjak 24 tahun.
Ketika ayah Guru Tua wafat, sejumlah ulama tergabung dalam sebuah lembaga legislatif mengadakan musyawarah untuk menunjuk pengganti Habib Salim.
Saat itu, para ulama dan cendekiawan sepakat untuk menunjuk sepupu Guru Tua, Habib Alwi bin Saggaf bin Muhammad bin Saggaf Aljufri.
Namun hal itu ditolak oleh Habib Ali sehingga seluruh ulama sepakat menunjuk Guru Tua sebagai pengganti ayahnya mengisi jabatan qadhi atau hakim di Taris, Yaman.
Dalam khazanah Islam, qadhi adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah SWT kepada umat Islam.
Penunjukan ini didasari karena Guru Tua dinilai memiliki wibawa dan kecerdasan dalam berbagai cabang ilmu agama.
Habib Alwi menambahkan, Guru Tua tetap berdakwah san mengabdikan dirinya kepada masyarakat di samping bertugas sebagai qadhi dan mufti.
Sebab, kata dia, Guru Tua sering memikirkan dan khawatir generasi penerus di Taris bisa ditimpa kejahilan.
Olehnya, Guru Tua mendirikan sebuah pondok sederhana di Taris bernama Alkhairaat dari hartanya sendiri.
Guru Tua kemudian memutuskan hijrah dari Taris ke Indonesia pada 1922 saat berusia 30 tahun.
Awalnya Guru Tua bersafari dakwah ke sejumlah daerah di Pulau Jawa sambil berdagang, seperti di Solo, Jombang dan Pekalongan.
Setelah beberapa tahun berdakwah di Jawa, ulama kharismatik itu bertolak ke Sulawesi pada 1929.
Guru Tua terus berdakwah sambil menjalankan aktivitas lainnya hingga namanya dikenal di kalangan masyarakat.