HARIANSULTENG.COM, POSO – Kasus pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo turut membuat beberapa peristiwa serupa kembali mencuat.
Di antaranya seperti kasus KM 50 di Tol Cikampek yang menewaskan enam laskar Front Pembela Islam (FPI).
Sementara di Sulawesi Tengah (Sulteng), kasus tewasnya 3 warga di Poso diduga jadi korban salah tembak turut menjadi sorotan.
Insiden itu pun kembali di singgung Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik.
Taufan pertama-tama menyinggung penembakan terhadap Qidam Alfariski Mowance, seorang pemuda berusia 20 tahun.
Qidam meregang nyawa setelah terkena tembakan karena diduga sebagai teroris jaringan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Pria asal Desa Tambarana itu tewas tertembak saat melintas di belakang Polsek Poso Pesisir Utara pada 9 April 2020 lalu.
Namun dari hasil investigasi Komnas HAM, Taufan memastikan bahwa Qidam merupakan warga sipil dan bukan teroris seperti dugaan aparat.
“Dua tahun lalu, MUI Pusat melapor ke Komnas HAM bahwa ada peristiwa remaja di Sulteng, namanya Qidam. Dia diduga sebagai teroris lalu ditembak. Investigasi kami kejadiannya tidak begitu, ada penyiksaan dulu baru ditembak karena bukti-bukti yang kami temukan (luka sayatan),” kata Taufan dalam tayangan YouTube Indonesia Lawyers Club, dikutip Selasa (30/8/2022).
Dua bulan pascakejadian itu, kejadian serupa juga dialami dua orang petani masing-masing bernama Syarifudin dan Firman pada 2 Juni 2020.
Sama seperti Qidam, keduanya meninggal akibat mengalami luka tembak karena diduga sebagai teroris saat beraktivitas di kebun.
“Kasus Qidam sampai sekarang tidak terselesaikan, padahal rekomendasi Komnas HAM itu jelas harus pidana. Dua orang setelah itu juga ditembak mati, dengan tuduhan mereka ini anak buah Ali Kalora. Setelah kami selidiki, tak ada hubungannya, mereka petani biasa. Kasusnya juga tidak terselesaikan,” ungkapnya.
Taufan sebelumnya melakukan kunjungan ke Poso dan bertemu Ustad Adnan Arsal, seorang tokoh agama di daerah itu.
Selain mempertanyakan kasus dugaan salah tembak, Ustad Adnan mengaku heran dengan model operasi aparat dalam memburu kelompok MIT.
Kepada Taufan, Ustad Adnan menerangkan bahwa jumlah anggota MIT saat ini tersisa satu orang namun harus melibatkan ribuan aparat keamanan.
“Saya baru saja ke Poso. Para penduduk di sana nanya gimana kasus-kasus tempo hari. Kemudian Ustad Adnan katakan ini terorisnya tinggal satu orang di gunung, tapi satgasnya kok seribu. Laporan ini juga sudah saya sampaikan ke Pak Menko. Kan ada keanehan-keanehan ini, kok ngejar satu orang sampai seribu orang satgasnya,” ujar Taufan.
Dari deretan kasus tersebut, ia mengatakan bahwa praktik kekerasan dan penyiksaan telah menjadi persoalan serius di tubuh Polri sejak lama.
Padahal, kata Taufan, Komnas HAM dan Kapolri telah menjalin MoU agar persoalan tersebut dapat dicegah.
“Saya hampir 5 tahun dan tinggal 3 bulan lagi periode saya. Catatan saya dari tahun ke tahun memang ada persoalan serius di kepolisian, yaitu kekerasan dan penyiksaan. Kami melihat praktik itu belum reda,” ungkapnya. (Sub)