HARIANSULTENG.COM, PALU – Moh Raslin, seorang aktivis kebencanaan di Kota Palu mencurigai ada kejanggalan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di wilayahnya.
Menurut Raslin, kejanggalan ini bermula saat proses lelang (tender) proyek pembangunan diserahkan kepada Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) di Kota Palu.
“Dari sinilah timbul dugaan konspirasi. Maka tidak heran kalau semua proyek penanggulangan bencana itu dilaksanakan orang-orang dari luar. Sebenarnya tidak masalah, asal kerjakan dengan benar. Namun faktanya, di lapangan kami menemukan banyak kejanggalan,” katanya, Selasa (10/1/2023).
Raslin mengungkapkan, pihaknya mencatat masih terdapat sekitar 6 ribu kepala keluarga belum mendapati hunian tetap (huntap) pascagempa 2018 di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.
Dari jumlah tersebut, hampir 50 persen penyintas telah terusir dari huntara seperti di Kelurahan Layana Indah, Kota Palu belum lama ini.
Mereka terpaksa harus angkat kaki karena masa pakai huntara telah habis dan tak mendapat toleransi lagi dari pemilik lahan.
“Ada penyintas yang meninggal bunuh diri dan menjadi tunawisma. Mereka stres kehilangan mata pencaharian ditambah kondisi huntara sudah tidak layak. Mereka memilih mengakhiri hidup karena sudah tidak tahan lagi,” ujar Raslin.
Aktivis dari Forum Pemuda Kaili Bangkit itu menganggap Kementerian PUPR menjadi ‘biang kerok’ dan sumber masalah utama atas belum terpenuhinya hak-hak penyintas.
Sebab paket pekerjaan untuk membenahi infrastruktur di Kota Palu dan sekitarnya pascagempa bersumber dari skema loan atau pinjaman.