HARIANSULTENG.COM – Kasus asusila terhadap remaja 15 tahun oleh 11 pria di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) terus menjadi sorotan.
Menanggapi hal itu, para pekerja kreatif dan komunitas di Kota Palu menggelar diskusi bertajuk “Berpihak pada Korban Bersuara untuk Keadilan”, Rabu (7/6/2023).
Kegiatan ini dihadiri sejumlah pembicara dari berbagai latar belakang, termasuk aktivis perempuan sekaligus Pendiri Institut Mosintuwu, Lian Gogali.
Melalui Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Institut Mosintuwu, pihaknya menyebut kasus pemerkosaan secara beramai-ramai seolah menjadi fenomena baru di Sulteng dalam beberapa tahun terakhir.
Di awal 2023 saja, publik dihebohkan dengan kasus pemerkosaan 13 pria terhadap anak berusia 13 tahun di Kabupaten Tojo Una-Una.
Kasus kekerasan seksual ini terjadi pada 11 Januari 2023. Bahkan, 2 dari 13 pelaku diketahui masih di bawah umur.
Sebulan kemudian atau Februari 2023, kejadian serupa terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).
Kali ini, seorang pelajar SMP menjadi korban kekerasan seksual secara bergiliran oleh 10 pria sejak 2021 hingga 2022.
Selain itu, rentetan kasus kekerasan seksual di Bumi Tadulako juga acap kali melibatkan oknum pejabat negara.
Lian Gogali teringat aksi bejat oknum kapolsek di Parigi Moutong tega memperkosa anak gadis dari tersangka pada Oktober 2021.
Kapolsek Iptu IDGN kala itu melakukan hubungan badan dengan korban dengan iming-iming akan membebaskan sang ayah.
Akibat perbuatannya tersebut, Iptu IDGN dipecat dari Polri alias dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH).
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum pejabat di Sulteng juga pernah terjadi di Kabupaten Tojo Una-Una.
Pada Juni 2022, oknum pejabat Pengadilan Agama Ampana berinisial MN dipolisikan karena diduga memperkosa siswi SMK peserta Praktik Kerja Lapangan (PKL) di kantor tersebut.
Terakhir, 2 dari 11 tersangka kasus persetubuhan remaja Parigi Moutong baru-baru ini melibatkan oknum anggota Polri hingga kepala desa.
“Sayangnya sebagian besar (kekerasan seksual) itu dilakukan oleh pejabat publik. Serangkaian kasus kekerasan seksual ini menunjukkan kondisi sudah benar-benar darurat,” kata Lian Gogali melalui tayangan virtual.
Menurut Lian, peran aktif kalangan non profesional berbasis komunitas sangat penting untuk mematahkan lingkaran kasus kekerasan seksual.
Wanita 48 tahun itu menceritakan pengalamannya dalam menangani kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Poso.
Dalam catatan RPPA Mosintuwu pada 2021 – 2022 menunjukkan antara korban dan pelaku memiliki hubungan dekat, mulai dari keluarga hingga tetangga satu kampung.
Akan tetapi, kata dia, lembaga penyedia layanan pendampingan korban kekerasan seksual sangat terbatas dan sulit menjangkau daerah-daerah pelosok.
“Banyak pihak namun tidak semua, yang seharusnya berperan aktif melindungi korban tidak melaksanakan kewajibannya. Tetapi justru menjadi pelalu kekerasan seksual. Dalam konteks ini, mungkin yang paling penting dimasifkan yaitu gerakan perlindungan perempuan dan anak dalam lingkar komunitas,” tutur Lian Gogali. (Bal)