HARIANSULTENG.COM, PALU – Penyelidikan polisi terkait dugaan penyalahgunaan data pribadi tiga remaja perempuan di Kota Palu terus berlanjut.
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang dikeluarkan 29 Juli 2025, penyidik Dirtreskrimsus Polda Sulteng telah memeriksa sebanyak delapan orang saksi.
“Iya betul, sudah delapan orang diperiksa sebagai saksi,” ujar Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Sulteng, AKBP Sugeng Lestari saat dikonfirmasi, Jumat (1/8/2025).
Diberitakan sebelumnya, kasus ini bermula ketika korban bernama Catherine, Stefani, dan Mikha, mendapat tawaran untuk menjadi agen asuransi di PT Chubb Life Insurance Indonesia.
Namun, bukannya memperoleh pekerjaan seperti yang dijanjikan, data-data diri yang mereka setor diduga digunakan untuk pembukaan rekening di Bank Mayapada Cabang Palu tanpa persetujuan.
“Pembukaan rekening tanpa persetujuan pemilik data melanggar hukum perbankan dan peraturan perlindungan data pribadi. Ini bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan data, pemalsuan identitas, hingga penipuan,” ungkap Rukly Chahyadi selaku kuasa hukum korban.
Rukly menyebut dalam SP2HP yang mereka terima dijelaskan bahwa penyidik akan melakukan pemeriksaan kembali terhadap pegawai Chubb dan Bank Mayapada.
Secara hukum dan prosedur perbankan, kata dia, pembukaan rekening wajib memenuhi prinsip Know Your Customer (KYC) sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Verifikasi ini meliputi pemeriksaan KTP asli, foto/selfie biometrik, serta dokumen pendukung seperti NPWP.
Sebaliknya, Rukly menegaskan bahwa tindakan membuka rekening bank tanpa izin pemilik data merupakan pelanggaran hukum serius yang berpotensi dijerat pidana maupun perdata.
“Jika ada pihak ketiga membuka rekening menggunakan data pribadi orang lain tanpa persetujuan, maka patut diduga telah terjadi pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan data pribadi,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan semacam itu dapat dijerat dengan sejumlah ketentuan hukum yang berlaku. Di antaranya pasal 35 dan 36 UU ITE terkait manipulasi data elektronik, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun dan denda hingga Rp12 miliar.
Selain itu, pelaku juga bisa dikenakan pasal 263 dan 378 KUHP tentang pemalsuan dan penipuan identitas, serta UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Rukly lantas mengingatkan apabila rekening yang dibuka secara ilegal itu digunakan untuk tindak kriminal seperti penipuan, judi online, pinjaman ilegal, atau pencucian uang, maka korban berisiko ikut terseret dalam proses hukum meski tidak merasa membuka rekening tersebut.
“Ini yang sangat berbahaya bagi para korban. Data mereka disalahgunakan, tetapi merekalah yang bisa terkena dampaknya,” terangnya.
Lebih lanjut, Rukly menjabarkan langkah-langkah yang bisa diambil korban penyalahgunaan data pribadi, misalnya melapor ke bank terkait untuk klarifikasi dan penutupan rekening, mengadu ke OJK, serta membuat laporan resmi ke pihak kepolisian.
Dalam aspek pidana, pelaku bisa dijerat UU ITE, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta KUHP. Sementara dalam aspek perdata, korban berhak mengajukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.