“Saya salah satu yang memimpin pergerakan masyarakat adat Danau Poso. Tujuannya adalah supaya semua pihak terutama perusahaan melihat dan mengakui ada manusia di pinggiran Danau Poso berteriak minta makan,” ungkapnya dalam dialog tersebut.
PLTA di Poso sebelumnya memberikan kompensasi kepada petani di sekitar Danau Poso dengan ganti rugi 10 kg beras per are.
Kemudian tahun 2022, perusahaan milik mantan presiden Jusuf Kalla itu menaikan jumlah ganti rugi menjadi 15 kg beras per are.
Namun belakangan, ganti rugi saat ini diberikan dalam bentuk uang sebesar Rp 38 juta per hektare.
Selain itu, petani juga mengajukan kompensasi dalam bentuk peralatan pertanian, seperti hand traktor, mesin semprot dan paras, serta bibit tanaman.
“Kalau yang beras dia berbentuk uang per hektare Rp 38 juta dan tambahan lain. Tetapi ini hanya jangka pendek, jangka panjangnya masih perlu didiskusikan,” kata Modjanggo.
Petani dari Desa Meko itu menganggap pemerintah seolah lepas tangan dari nasib petani yang terdampak akibat PLTA Poso.
Menurutnya, perjuangan petani dalam menuntut hak-haknya hanya mendapat dukungan unsur masyarakat lainnya.
“Apa yang dicapai hari ini adalah usaha kami sendiri. Di mana ada keterlibatan masyarakat non pemerintah dan non perusahaan. Dan mohon maaf, belum ada keterlibatan pemerintah,” ujar Modjanggo. (Sub)