HARIANSULTENG.COM, PALU – Pengawas Ketenagakerjaan dari Dinakertrans Sulteng, Rifai menjadi salah satu pembicara dalam dialog publik bertema “Menguak Ironi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tengah Laju Tambang Nikel Ilegal”, Selasa (12/11/2024).
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Yayasan Tanah Merdeka (YTM) di salah satu hotel di Kota Palu dengan turut menghadirkan sejumlah serikat buruh.
Tesar dari Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM) menyoroti penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Menurutnya, lemahnya penerapan K3 ini menjadi salah satu penyebab utama maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi di kawasan PT IMIP.
“Kalau bicara di lingkungan PT IMIP, di sana sangat bobrok kalau menyangkut masalah keselamatan. Aturan soal keselamatan kerja ini lengkap tetapi seperti tidak terpakai,” kata Tesar.
Ia menyebut tenaga kerja asal Tiongkok kebanyakan menduduki jabatan manajerial di kawasan industri. Kondisi ini semakin memperlemah posisi dan peran tenaga kerja lokal.
“Ketika kami menyampaikan kebaikan soal keselamatan kerja, tetapi pekerja Tiongkok yang mengambil kebijakan. Mereka (TKA) terkesan asal-asalan saja,” ungkapnya.
Melalui pertemuan itu, Tesar berharap pemerintah daerah berperan aktif dalam mendorong perbaikan manajemen K3 di PT IMIP.
“Saya berharap Pemerintah Sulawesi Tengah bisa menindaklanjuti persoalan ini agar masalah K3 diambil alih oleh tenaga kerja Indonesia. Meski kami paham mengenai regulasi tetapi itu tidak terpakai. Kami kesulitan juga karena pengambil kebijakan itu dari pekerja Tiongkok,” jelas Tesar.
Menanggapi hal tersebut, Rifai selaku pengawas ketenagakerjaan sepakat agar kasus kecelakaan kerja di kawasan industri ini dapat ditekan atau bahkan tidak terjadi.
Akan tetapi, ujar dia, PT IMIP yang menjadi proyek strategis nasional (PSN) merupakan ranah kewenangan dari pemerintah pusat sebagai bagian dari program hilirisasi.
“Hilirisasi merupakan kebijakan pemerintah pusat. Persoalan-persoalan yang terjadi harus menjadi koreksi bagi pemerintah. Semua regulasi ditarik ke pusat,” ucap Rifai.
Dikatakan Rifai, personel pengawas ketenagakerjaan di Sulawesi Tengah saat ini berjumlah 24 orang.
Keterbatasan jumlah pengawas ini menjadi kendala dalam memaksimalkan pengawasan dan pembinaan ketenagakerjaan di 13 kabupaten/kota se-Sulteng.
Satu sisi, sambung Rifai, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mengucurkan Rp200 juta untuk satu dinas.
“Dana APBN Rp200 juta untuk meng-cover 13 kabupaten/kota. Tapi kami tetap jalan, langkah-langkah oerbaikan untuk menghindari kecelakaan kerja sudah dilakukan. Kekurangan personel ini sudah kami sampaikan tetapi tidak ditambah. 24 orang memeriksa satu tenant di IMIP saja tidak akan selesai dalam sehari,” tuturnya.
(Red)