HARIANSULTENG.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah (Walhi Sulteng) memberikan beberapat catatan menonjol terkait permasalahan lingkungan dan ekologis, konflik lahan serta pelanggaran HAM sepanjang 2022.
Direktur Walhi Sulteng, Sunardi Katili mengatakan, setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi sorotan utama. Mulai dari sektor perkebunan, pertambangan dan proyek Kawasan Pangan Nasional (KPN).
Melalui pendekatan strategis, Walhi Sulteng menyoroti aktivitas perkebunan skala besar khususnya sawit milik Grup Astra dan Kencana Agri di Kabupaten Morowali Utara.
“Perampasan dan ekspansi lahan perusahaan Grup Astra dan Kencana berdampak pada kerusakan ekologis, konflik lahan dan pelaggaran HAM, serta penghilangan sumber kehidupan ekonomi rakyat dan petani,” jelas Sunardi dalam keterantan resmi, Minggu (1/1/2023.
Walhi Sulteng mencatat dua perkebunan sawit sepanjang 2022 milik Grup Astra, yaitu PT Mamuang dan PT Agro Nusa Abadi (ANA).
Sementara dua perkebunan sawit dari Grup Kencana Agri di antaranya PT Sawindo Cemerlang dan PT Hardaya Inti Palntation.
Keempat perusahaan ini diadvokasi Sunardi bersama kawan-kawannya dengan berbagai dinamika konflik dan permasalahan yang mengiringinya.
Menurut Sunardi, perusahaan-perusahaan sawit tersebut sama strategisnya dengan Kawasan Pangan Nasional (KPN) di Kabupaten Donggala, sebab didorong menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) penyangga Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Mereka dilegitimasi lewat kebijakan Gubernur Sulteng serta keputusan presiden. PT Parna Raya menjadi investor KPN yang akan bekerja sama dengan 400 petani dalam pengelolaan kawasan KPN ini. Total luas 1.123,59 hektare dengan areal tanaman hortikultura 165,22 hektare,” ujarnya.
Selain itu, sektor pertambangan dan energi terutama pembangunan smelter pengolahan nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara turut menjadi catatan Walhi Sulteng.
Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng, Richard Labiro mengungkapkan, PT Gunbuster Nickel Invesment (GNI) dan PT Stardust Estate Invesmant (SEI) beroperasi melalui sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) maupun pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Dengan demikian, penggunaan batu bara maupun bendungan sungai dan danau dipastikan mengambil alih lahan-lahan pertanian milik petani di pedesaan, setta kawasan hutan yang berimbas pada kerusakan ekologi dan pelanggaran HAM.
“Berdasarkan hasil investigasi kami di kawasan Stardust Estate Invesmant, kami melihat langsung satu kampung terendam air sungai yang sengaja di blokir oleh pihak perusahaan untuk mendinginkan smelter,” ungkapnya.
Di sisi lain, Richard menjelaskan rencana untuk mendirikan PLTU yang ada di kawasan industri tersebut sudah mulai mengancam dan meresahkan masyarakat.
“Hasil olahan observasi dilapangan, desa yang akan terdampak kedepannya itu berada di Kecamatan Petasan Timur, tepatnya Desa Toara, Tompira, Bunta, Bungintimbe. Sedangkan di Kecamatan Petasia ada Desa Kolonodale, Korololama, wilayah pesisir dan Pulau Tokonanaka,” jelasnya.
Kemudian, masyarakat di kawasan di Desa Toara sudah merasakan kualitas udara dengan hujan yang tidak bisa lagi di prediksi kapan turunnya.