HARIANSULTENG.COM, PALU – Anggota VI BPK RI, Pius Lustrilanang menjadi keynote speaker dalam bedah buku Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993 – 1998, Kamis (9/1/2023).
Kegiatan itu turut dihadiri Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura, Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid dan sejumlah bupati di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako (Untad).
Aldera merupakan kependekan dari Aliansi Demokrasi Rakyat, sebuah gerakan mahasiswa di era 1990-an.
Dijelaskan Pius, gerakan ini lahir sebagai respon terhadap masalah-masalah sosial politik yang dihadapi masyarakat serta pengerdilan yang semakin ditunjukkan Orde Baru.
Sama seperti kelompok mahasiswa lainnya, Pius dan kawan-kawan menjadi pilar yang memberikan perlawanan terhadap Soeharto.
“Aldera ini terbentuk 1993 sampai 1999 untuk memperjuangkan demokratisasi yang bisa kita nikmati hari ini,” ujarnya.
Meski ancaman represi politik dari rezim senantiasa membayangi, konsolidasi mahasiswa di tingkat nasional justru semakin progresif.
Banyaknya mahasiswa menjadi korban dianggap sebagai konsekuensi tak terhindarkan dalam upaya
melengserkan Soeharto dan membentuk tatanan kehidupan berbangsa yang baru.
Pius sebagai tokoh sentral Aldera bahkan sempat menjadi korban penculikan. Namun berbagai bentuk ancaman ini tak membuat mahasiswa turun nyalinya.
Sebab, menurut Pius, salah satu ciri khas yang melekat dalam gerakan mahasiswa saat itu adalah idealisme kemahasiswaan yang dimiliki oleh para aktivisnya.
“Tidak terhitung berapa banyak aktivis mahasiswa yang ditahan, puluhan bahkan ratusan. Banyak juga yang gugur karena tetap mempertahankan keyakinannya memperjuangkan nilai-nilai demokratisasi. Mereka yang gugur, dianiaya, ditahan juga layak disebut sebagai pahlawan, bukan hanya kepada pahlawan merebut kemerdekaan,” terang mantan aktivis mahasiswa berusia 54 tahun itu.
Gerakan massa dan kampanye reformasi terus berlangsung sampai Soeharto resmi lengser dari jabatannya pada 21 Mei 1998.
Berakhirnya masa pemerintahan otoriter 32 tahun ini secara drastis telah membawa sistem politik Indonesia menemukan kembali ciri keterbukaannya.
Arus informasi yang pernah disumbat rezim militeristik mulai membanjiri masyarakat. Demikian pula masyarakat sipil bisa ikut berkompetisi dalam gelanggang kekuasaan melalui sistem pemilihan bebas dan terbuka.
Kendati demikian, Pius berharap para mahasiswa bisa tetap menjaga sikap kritis pada kekuasaan yang ada.
“Gubernur, wali kota dan para bupati yang hadir pada hari ini adalah orang-orang yang harusnya paling berterima kasih terhadap reformasi, kepada mahasiswa. Tanpa reformasi, meraka tidak mungkin menjadi kepala daerah. Gubernur, wali kota dan bupati dulu hanya jatahnya tentara,” ujarnya. (Sub)