Dengan segala keterbatasan, mereka mencatat dengan tangan berita-berita kemudian menempelnya di shelter-shelter pengungsian.
Selain itu, media-media Jepang menghindari pemberitaan yang berpotensi meninggalkan traumatik bagi korban. Tak ada gambar mayat, darah maupun tangisan.
“Mungkin agak berbeda dengan di Indonesia. Kalau di Jepang seperti tabu menampilkan gambar orang bersedih, mayat. Itu sangat dihindari,” tuturnya.
Dari pengalaman tsunami Aceh dan tsunami Jepang, Arif kemudian merefleksi dan mulai memetakan potensi kerawanan bencana di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pada 2012, ia pernah menulis tentang kerawanan bencana di Palu berjudul “Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh”.
Waktu adalah musuh utama ingatan. Di Tanah Runtuh, Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, kisah tentang runtuhnya kampung itu karena gempa dan tsunami hanya dianggap dongeng. Warga tinggal di pantai itu tanpa membentengi diri dengan kesiapsiagaan.
Demikian petikan teras berita dalam tulisan tersebut. Paragraf selanjutnya menceritakan pengakuan warga yang mendengar perkataan buyutnya tentang tsunami di masa lampau yang melanda Teluk Palu.
Cerita-cerita dari warga ini dibenarkan sebagai fakta sejarah oleh akademisi sekaligus pengamat kebencanaan setempat bernama Abdullah.
Sayangnya, jurnalis di Palu seolah kehilangan penciuman untuk mengungkap jejak-jejak tsunami yang paling dekat di sekitarnya.
“Saya membayangkan kalau yang memproduksi itu teman-teman media di Palu, yang memiliki audiens di sini. Impact-nya pasti jauh lebih besar. Kalau Kompas minat bacanya paling orang di Jakarta,” kata Arif.
Ungkapan Arif itu seperti ‘tamparan’ bagi peserta media gathering yang hadir. Pada 28 September 2018, petaka yang pernah diingatkan Arif benar-benar terjadi.
Pukul 18.02 Wita, gempa magnitudo 7,4 mengguncang saat kebanyakan warga berkumpul di pesisir Pantai Talise untuk menyaksikan Festival Palu Nomoni.
Jembatan Kuning dan deretan tenda hancur tak bersisa tersapu gelombang tsunami yang menerjang sesaat setelah gempa.
Ahmad Arif bukan orang pertama yang pernah menyinggung ancaman potensi tsunami di Teluk Palu.

Pengamat Kebencanaan Sulteng, Abdullah/hariansulteng
Orang yang pernah ia wawancarai, Abdullah juga pernah mengingatkan hal serupa dalam bukunya berjudul “Tsunami di Teluk Palu dan Sesar Palu Koro”.
Buku ini diluncurkan Desember 2017. Namun Abdullah merasa buku yang mengulas sejarah dan ancaman tsunami, serta fakta-fakta seputar Sesar Palu-Koro tersebut tak mendapatkan tempat di hati masyarakat.
“Dicetak sekitar 200. Saya taruh di Ramedia (terjual) tidak sampai sepuluh. Paling kalau ada yang beli kesannya kayak ‘untuk apa beli buku seperti itu’. Ancaman itu ada dan pasti terjadi, mereka tidak percaya,” ucap Abdullah saat ditemui beberapa waktu lalu.
Namun pascabencana 2018, buku Abdullah menjadi incaran dan menjadi bacaan masyarakat. Ia pun banyak mendapat undangan menjadi pembicara seputar kebencanaan di Sulteng.