HARIANSULTENG.COM, PALU – Sejumlah massa tergabung dalam Forum Penyintas Layana melakukan aksi demonstrasi di Kantor DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (9/1/2023).
Unjuk rasa ini mereka lakukan setelah ‘terusir’ dari hunian sementara (huntara) yang berada di Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Para penyintas mendiami huntara selama kurang lebih 4 tahun, atau pascagempa dan tsunami pada September 2018 silam.
Pemilik lahan awalnya memberikan waktu selama 2 tahun namun diperpanjang hingga 2022 dengan alasan kemanusiaan.
Koordinator Aksi, Moh Raslin menerangkan bahwa pihaknya tidak menyalahkan pemilik lahan karena sudah beberapa kali memberikan toleransi kepada para penyintas.
Para penyintas kemudian memutuskan untuk berdemo guna mempertanyakan nasib mereka kepada perwakilan rakyat karena tak lagi memiliki tempat berlindung.
“Kami memaklumi sikap dari pemilik lahan karena selama ini telah memperpanjang masa waktunya, jadi tidak bisa disalahkan,” kata Raslin.
Ia menuturkan, penanganan pascabencana di Palu dan sekitarnya sepenuhnya berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian PUPR.
Pemerintah daerah baik kota maupun provinsi siap membangun hunian bagi para penyintas jika ada lahan yang tersedia.
Kepada DPRD Sulteng, Forum Penyintas Layana menawarkan lahan seluas lebih dari satu hektare yang berlokasi tak jauh dari lokasi huntara.
“Harga lahannya Rp 400 juta, ini yang ingin kami komunikasikan kepada DPRD terkait bagaimana solusinya. Pemda siap membangun jika ada lahan. Penyintas Huntara Layana berjumlah 78 KK, yang terusir masih 30 KK dan itu secara bertahap,” terang Raslin.
Kedatangan massa dari korban bencana ini disambut Anggota DPRD Sulteng, Alimuddin Paada dan Rosmini A Batalipu.
Setelah mendengarkan tuntutan dari pendemo, Alimuddin Paada turut menyumbang biaya pembebasan lahan untuk para penyintas Layana.
“Sebenarnya kita sudah ada bantuan untuk di kota, saya pribadi beri Rp 2,5 juta untuk tanah tersebut. Untuk yang lain akan kami undang dan sampaikan juga,” ujar Alimuddin.
Sri Tini Haris, seorang penyintas berharap anggota dewan bisa datang langsung untuk melihat kondisi huntara mereka.
Menurutnya, anggota dewan dan pejabat pemerintah tak mengetahui bahwa sebagian penyintas meninggal dunia karena stres.
“Kondisi huntara sudah tidak karu-karuan, toilet tersumbat dan lain-lain. Untuk makan saja sesama penyintas baku minta beras, ada yang meninggal tidak wajar. Teman-teman yang tidak memiliki sertifikat bingung terkait nasibnya,” kata Sri. (Sub)