HARIANSULTENG.COM, DONGGALA — Ubi banggai (Dioscorea alata L) jadi salah satu pangan lokal yang terkenal berasal dari Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut. Kehadiran ubi banggai tidak hanya sebagai pangan, melainkan telah menjadi kebudayaan bagi tiga masyarakat yang berada di Kabupaten Banggai.
Tradisi Sasampe, contohnya, merupakan perayaan masyarakat Banggai setelah memanen ubi banggai yang melimpah. Warga berbondong-bondong membawa hasil panen menuju rumah adat yang berada di pulau seberang menaiki perahu.
Lantaran pernah jadi sumber pangan utama warga, sebelum digantikan oleh beras, tanaman yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serta vitamin dan mineral seperti vitamin C dan zinc ini pernah coba dibudidayakan di daerah lain.
Namun, beberapa usaha penanamannya di Kabupaten Banggai, Poso, dan Parigi Moutong berakhir nihil. Ubi tak bisa tumbuh. Disebutkanlah ia sebagai tanaman endemik alias hanya ada di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut.
Ciri khas ubi ini adalah bentuknya yang merupakan perpaduan antara ubi jalar dan ubi kayu. Rasanya juga mirip campuran keduanya. Ukurannya lebih besar dan berbagai varietas dengan warna berbeda, seperti putih, putih kekuningan, ungu, dan putih cerah.
Sebenarnya tidak selalu tanaman berlabel endemik hanya bisa tumbuh di satu wilayah geografis tertentu. Tetap ada kemungkinan tanaman endemik bisa beradaptasi dan tumbuh di tempat lain, asal dilakukan penyesuaian khusus dengan mengondisikan daerah tempat menanam sesuai habitat aslinya.

Ade Nuriadin memperlihatkan beberapa hasil panen ubi banggai yang ditanamnya (Sumber: Mawan/hariansulteng.com)
Ade Nuriadin coba mengintip peluang tersebut. Berbekal pengalaman saat jadi bagian dari tim peneliti upacara adat Sasampe yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah selama tiga bulan pada tahun 2024, ia menanam ubi banggai pada sebidang tanah miliknya.
Sepulang dari lokasi penelitiannya di Banggai Kepulauan, Ade coba menanam ubi banggai di tempat asalnya, Desa Toaya, Kabupaten Donggala. Kala itu ia membawa pulang ubi berjenis sombok dan pau-pau ateno.
Saat menanam, Ade mengikuti semua tata cara yang dilakukan oleh para petani, mulai dari teknik hingga hal-hal lain menyangkut budaya turun-temurun ketika menanam.
Informasi tentang ubi banggai yang sulit atau bahkan tidak bisa tumbuh selain di tanah asalnya tidak membuatnya ciut hati.
“Saya percaya yang bikin orang merasa itu tidak bisa karena melihat Banggai sebagai wilayah administrasi. Tapi, kan, kalau kita pahami konsep Banggai sebagai nilai, harusnya tidak terbatas ruang,” ucap Ade.
Pemahaman ini ia dapatkan saat mengunjungi Desa Adat Kesepuhan Ciptagelar, di kaki Gunung Halimun, Jawa Barat, yang terkenal dengan komoditi padi dan tradisi lumbungnya.
Di sana ia juga bertanya perihal izin menanam padi dengan cara masyarakat Ciptagelar menanam. “Katanya bisa, selama kau pakai tata cara Ciptagelar, mulai dari menanam hingga panen, berarti kau warganya kita. Walaupun kau lakukan di mana pun,” kata Ade sambil menirukan ucapan tetua adat Ciptagelar.
Waktu tanam ubi banggai antara akhir Oktober sampai awal November, menghabiskan waktu antara 7—8 bulan, lalu panen dimulai pada akhir bulan Juni hingga Agustus dan setelahnya berlanjut ke tradisi adat Sasampe.
Jelas bahwa proses tanam ubi banggai dan tradisi adat Sasampe merupakan satu siklus tahunan dan rangkaian yang tidak terpisahkan.
Ade pun demikian, menggunakan bulan tersebut sebagai patokan menanam. Jadi secara penanggalan, saat ini telah memasuki masa panen. “Barangkali yang buat kenapa ini ubi tumbuh, karena ada kesamaan tanah ini dengan yang ada di Banggai sana. Karena kalau saya lihat tanah di sana yang dipakai tanam ubi, tanahnya diolah secara organik,” ungkap Ade.
(Mawan)