HARIANSULTENG.COM, PALU – Sejumlah organisasi buruh di Sulawesi Tengah (Sulteng) menghadiri dialog publik bertema “Memajukan Politik Kelas Buruh dalam Mendudukkan Masalah Perburuhan”.
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Yayasan Tanah Merdeka (YTM) bertempat di Hotel Paramasu, Kota Palu, Selasa (28/11/2023).
Dalam dialog tersebut, YTM turut menghadirkan akademisi, peneliti, perwakilan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulteng, serta sejumlah NGO lainnya.
Dari kalangan buruh, Serikat Pekerja Nasional (SPN) membeberkan terkait kondisi para pekerja khususnya di kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali.
SPN mencontohkan kecelakaan kerja yang sering terjadi di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) karena tidak adanya peran Pengawas Ketenagakerjaan (Wasnaker).
“Salah satu persoalan hari yaitu soal tugas dan fungsi Wasnaker. Kami terus mendorong terkait pemenuhan stafnya untuk melakukan pengawasan, tetapi selalu dinampikkan. Perlu hadir Pengawas Ketenagakerjaan di sana. Jabatan-jabatan fungsional di Morowali masih dikuasai TKA, ini pelanggaran undang-undang secara nyata. Ini selalu kami sampaikan ke pemerintah daerah,” ucap perwakilan SPN Morowali, La Ode Muh Kasman.
Selain mimimnya pengawasan, dampak lingkungan dari masifnya aktivitas industri menjadi persoalan fundamental lainnya yang dialami pekerja maupun masyarakat setempat.
Di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, debu-debu beterbangan seiring maraknya truk-truk pengangkut material tambang yang hilir-mudik.
Menurut La Ode, kondisi ini membuat banyak masyarakat mengeluh terutama yang tinggal di kos-kosan seperti dirinya.
“Persoalan lingkungan dan polusi udara ini meresahkan. Debu-debu berhamburan sampai masuk ke ruang-ruang makan. Ini fakta,” ungkapmya.
Dari sisi penghasilan, La Ode mengakui upah pekerja tambang di Morowali dianggap cukup besar. Akan tetapi, kondisi ini juga dibarengi dengan biaya hidup yang sangat mahal.
Ia menyebut harga tabung elpiji 3 kilogram saja berada di kisaran Rp 75 ribu – Rp 90 ribu. Tingginya harga ini dipastikan bisa memicu kenaikan pada kebutuhan pokok lainnya.
“Dua bulan lalu, tabung gas harganya dari 75 ribu, 80 ribu sampai 90 ribu. Tahun 2022 kemarin, kos naik 150 ribu. Inilah fakta-fakta yang terjadi di Morowali, khususnya di Kecamatan Bahodopi,” kata La Ode.
Lemahnya pengawasan dan perlindungan di sektor ketenagakerjaan juga diungkapkan Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sulteng, Lukius Todama.
Politisi dari Partai Buruh itu menilai hal ini disebabkan karena sikap ketidakpatuhan dari para pemilik modal atau investor.
Selain itu, posisi buruh kian dirugikan setelah revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disahkan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Yang marak sekarang ini perusahaan outsourcing. Jadi tidak melihat lagi jenis pekerjaan yang wajib dikontrak atau tidak. Di sinilah letak kerugian pekerja buruh setelah direvisi UU Nomor 13 Tahun 2003 menjadi UU Cipta Kerja,” jelas Lukius.